"Kami tidak menargetkan pasar apapun untuk penjualan gajah. Kami terbuka untuk semua negara yang menginginkan satwa liar kami," kata Menteri Pariwisata Zimbabwe, Prisca Mupfumira di sela-sela pertemuan puncak satwa liar di Victoria Falls, dilansir dari laman Bloomberg, Selasa, 25 Juni 2019.
Meningkatnya populasi gajah juga dinilai Zimbabwe telah meningkatkan frekuensi konflik dengan manusia. Khusus untuk Angola, pemerintah Zimbabwe sedikit mengkhawatirkan keselamatan gajah-gajah liar jika mereka dijual ke negara tersebut.
"Masalah utama adalah ranjau darat di Angola, jadi kami mencoba untuk membantu mereka dengan memberikan dana untuk menangani itu (ranjau darat) sebelum kami mengirim hewan," imbuhnya.
Jutaan ranjau darat digunakan dalam perang saudara selama 27 tahun di Angola. Perang berakhir pada 2002, namun banyak ranjau yang belum dibersihkan.
Para pemimpin dari empat negara Afrika, yang merupakan rumah bagi separuh populasi global gajah, berkumpul di Zimbabwe. Mereka membahas kebijakan manajemen bersama, serta menyerukan Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Terancam Punah untuk moratorium penjualan gading.
Keempat negara tersebut adalah Zimbabwe, Zambia, Namibia, dan Botswana. Mereka menegaskan harus bebas untuk memutuskan penanganan satwa liar.
Presiden Namibia Hage Geingob dan Presiden Zambia Edgar Lungu mengatakan kepada para delegasi bahwa hak-hak hidup di antara komunitas gajah tengah diabaikan. Makanya harus ada kesepakatan baru dengan CITES yang memungkinkan mereka mendapat manfaat dari satwa liar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News