Sebagian besar korban tewas dalam genosida di Rwanda 25 tahun lalu adalah minoritas Tutsi. Mereka semua dibunuh oleh ekstremis dari etnis Hutu.
Presiden Paul Kagame, yang memimpin pasukan pemberontak dalam mengakhiri genosida, akan menyalakan api peringatan di ibu kota Rwanda, Kigali.
Dilansir dari laman BBC, Minggu 7 April 2019, masa berkabung selama 100 hari akan dimulai saat Presiden Kagame menyalakan api di situs memorial genosida di Kigali. Setelah menyalakan api, pria 61 tahun itu akan berpidato di Kigali Convention Centre.
Setelah itu, Presiden Kagame juga akan memimpin acara mengenang korban tewas di Amahoro National Stadium, sebuah gedung yang pernah digunakan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam melindungi minoritas Tutsis selama masa genosida.
Sejumlah pemimpin negara asing dijadwalkan hadir di acara peringatan. Sebagian besar tokoh tersebut berasal dari negara Afrika, kecuali Perdana Menteri Charles Michel yang mewakili Belgia, bekas negara pemimpin koloni Rwanda di masa lalu.
Presiden Prancis Emmanuel Macron tidak akan hadir dalam peringatan di Rwanda. Pekan ini, Macron telah menunjuk sebuah panel tim ahli untuk menyelidiki peran Prancis dalam genosida di Rwanda.
Prancis adalah sekutu dekat pemerintah Rwanda yang dikuasai etnis Hutu sebelum pembantaian terjadi. Selama ini, Prancis dituduh mengabaikan sejumlah pertanda genosida dan juga dikecam karena melatih sejumlah milisi yang terlibat dalam pembantaian.
Pada 6 April 1994, sebuah pesawat yang membawa presiden Rwanda saat itu, Juvenal Habyarimana -- seorang etnis Hutu -- ditembak jatuh. Semua orang di pesawat tersebut meninggal dunia.
Ekstremis Hutu menuduh Tutsi berada di balik penembakan pesawat. Tutsi membantah. Dalam sebuah operasi terencana, para milisi Hutu membunuh banyak Tutsi dengan menggunakan golok.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News