Gencatan senjata sebelumnya dianggap telah dilanggar, terutama oleh milisi yang didukung Iran di Suriah.
Pemerintah Suriah menganggap sebagian besar kelompok pemberontak yang menghadiri konferensi akan didukung "teroris" asing. Tetapi mereka mengatakan siap terlibat dalam pembicaraan dengan kelompok-kelompok bersenjata, jika mereka menyerahkan senjata dan mengajukan penawaran rekonsiliasi.
Kelompok pemberontak utama di bawah panji-panji Tentara Pembebasan Suriah (FSA) telah menolak tawaran itu. Seraya mengatakan, tujuan mereka adalah mengakhiri pemerintahan Presiden Bashar al-Assad melalui proses transisi politik didukung PBB.
"Kami tidak akan masuk ke dalam setiap diskusi politik dan semuanya akan berkisar soal mematuhi gencatan senjata dan dimensi kemanusiaan demi meringankan penderitaan warga Suriah yang terkepung dan pembebasan tahanan serta pengiriman bantuan," kata Yahya al Aridi, juru bicara delegasi oposisi, kepada Reuters.
"Rezim Suriah berminat mengalihkan perhatian dari isu-isu ini. Jika rezim Suriah berpikir kehadiran kami di Astana adalah penyerahan diri kami, itu hanya khayalan," tambahnya.
Tim beranggotakan 14 kelompok telah mengambil keputusan untuk mengadakan pembicaraan secara tatap muka dengan delegasi pemerintah setelah dimulainya konferensi.
"Ada komplikasi ketika Anda akan menghadapi orang-orang yang memasuki negara Anda dan terus membunuh Anda, serta rezim yang belum mematuhi gencatan senjata dan berlanjut dengan kebijakan penghancuran dan membunuh rakyatnya," kata Yahya seperti dilansir Reuters, Senin (23/1/2017).
Pemerintah Suriah sudah lama membantah menggunakan serangan udara untuk mengebom warga sipil di wilayah yang dikuasai pemberontak dalam konflik yang telah menewaskan puluhan ribu orang.
Para penyelidik PBB juga menuduh pemerintah dan pemberontak melakukan kejahatan perang selama konflik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News