medcom.id, Caracas: Presiden Venezuela Nicolas Maduro berjanji, pada Jumat 31 Maret, untuk menyelesaikan kisruh di negaranya dalam waktu beberapa jam. Kisruh itu dipicu kontroversi atas putusan peradilan membubarkan kongres, yang telah memicu protes oposisi dan kecaman dari seluruh dunia.
Putusan Mahkamah Agung (MA), pekan ini, menetapkan MA mengambil alih fungsi Majelis Nasional -- yang semula dipimpin oposisi -- dikecam sebagai "kudeta" oleh para kritikus. Mereka melihatnya sebagai gerakan tidak terkendali dalam kediktatoran Partai Sosialis yang telah memerintah selama 18 tahun terakhir.
"Saya pikir hari ini kita dapat menemukan solusi yang koheren, jelas, dan konstitusional yang akan menjawab keraguan dan melucuti agresi internal dan eksternal," kata Maduro pada pertemuan dewan keamanan negara, seperti dikutip Reuters, Sabtu 1 April 2017.
Maduro memproyeksikan dirinya bisa mengatasi kekisruhan antara pelbagai kekuatan independen dan menghembuskan rumor akan melawan MA. Ia katakan tidak tahu apa-apa soal putusan itu, tetapi akan mengatasi masalah ini secepatnya.
Para pemimpin oposisi mencemoohnya sebagai respons munafik untuk meredam kemarahan internasional terhadap pemerintahnya.
Dalam perbedaan pendapat yang jarang terlihat, seorang pejabat senior, Jaksa Agung Venezuela Luisa Ortega, sekutu lama Maduro, menegur pengadilan, Jumat pagi.
"Ini menjadi perpecahan tatanan konstitusional," kata tokoh 59 tahun dalam sebuah pidato di televisi pemerintah. "Menjadi kewajiban saya untuk mengungkapkan keprihatinan mendalam saya untuk negara ini."
Sepanjang Jumat, para pengunjuk rasa memblokir sejumlah jalanan, membentangkan spanduk, dan meneriakkan slogan-slogan menentang pemerintahan Maduro yang tidak populer, seperti "Kebebasan!" dan "Tidak Untuk Kediktatoran!"
Dalam aksi di negara bagian Tachira barat, puluhan demonstran merobek salinan putusan pengadilan di depan gedung pengadilan.
Setelah membatalkan sebagian besar langkah Majelis Nasional sejak oposisi merebut kontrol pada 2015, Mahkamah Agung yang pro-Maduro, pada Rabu 29 Maret, mengatakan pihaknya mengambil alih peran legislatif karena anggotanya telah "melanggar" hukum.
Pengadilan bersidang, Jumat sore, melanjutkan rumor akan membalikkan putusan sebelumnya demi meredakan kontroversi.
"Para penjahat yang tak tahu malu itu akan membatalkan puutusan nomor 155 dan 156 dalam beberapa jam ke depan," kata salah satu pemimpin oposisi Henry Ramos, mengacu pada dua putusan kunci pekan ini yang diberlakukan.
"Mereka harus melakukan hal yang sama dengan yang lain, putusan nomor 52," tambahnya, mengacu pada putusan sebelumnya yang membatalkan sejumlah keputusan kongres.
Jatuhnya Obligasi
Harga obligasi pemerintah Venezuela turun tajam dalam ketidakpastian. Maduro, 54, sebelum jadi presiden adalah seorang mantan sopir bus dan menyatakan diri sebagai "anak" pemimpin kiri terdahulu Hugo Chavez. Ia terpilih pada 2013 di tengah dukungan yang luas untuk menebar program kesejahteraan dari pihak yang berkuasa, Partai Sosialis.
Tapi popularitasnya telah menurun drastis saat Venezuela berjuang di tahun keempat dari resesi, kerawanan pangan, dan kurangnya obat-obatan serta inflasi tertinggi di dunia.
Kritikus menyalahkan sistem sosialis gagal, sedangkan pemerintah mengatakan musuh-musuhnya mengobarkan "perang ekonomi". Turunnya harga minyak sejak pertengahan 2014 telah memperburuk krisis.
Pengadilan yang merebut kekuasaan menuai kecaman dan keprihatinan dari Amerika Serikat (AS), Organisasi Negara Amerika (OAS), Uni Eropa, PBB, dan negara-negara penting Amerika Latin.
Sekutu Rusia melawan tren, mendesak dunia agar membiarkan Venezuela sendiri. "Kekuatan eksternal seharusnya tidak menyiram minyak ke api," kata pihak Kremlin dalam sebuah pernyataan.
Maduro menuduh Washington memimpin dorongan buat menggulingkan dirinya sebagai bagian dari serangan yang lebih luas terhadap kaum kiri di Amerika Latin.
Namun, Presiden baru AS Donald Trump tampaknya memiliki prioritas lain atau belum sepenuhnya membentuk kebijakan soal Venezuela.
Kepala OAS Luis Almagro, yang dilihat pemerintah Venezuela sebagai pion Washington, telah mendorong suspensi dari blok regional beranggota 34 negara, yang telah mengumumkan pertemuan luar biasa, Senin 3 April, untuk membahas Venezuela.
Pembekuan tampaknya tidak mungkin, para diplomat berkata, mengingat dukungan atas Venezuela dari pemerintah kiri lainnya dan negara-negara kecil yang sudah mendapat manfaat dari murahnya minyak.
"Itu semua rencana untuk campur tangan di Venezuela, memprovokasi kekacauan nasional, dan mengobarkan kudeta," kata Maduro dalam pidatonya. "Venezuela punya demokrasi yang kuat, konstitusi yang sepenuhnya utuh," tambahnya.
Hambatan Oposisi
Oposisi terberai, koalisi Persatuan Demokrasi, terdiri dari sekitar dua lusin tokoh dan beberapa kelompok, memproklamirkan diri dalam "sidang permanen" dan berjanji menggulirkan protes jalanan demi menuntut pemilihan presiden baru.
Namun koalisi ini tertatih-tatih oleh perpecahan: para pemimpinnya mengadakan empat konferensi pers yang tumpang tindih, Jumat.
Jajaran pendukung oposisi juga sadar bahwa taktik jalanan telah gagal pada berbagai kesempatan.
Unjuk rasa besar pecah pada 2002 membantu tergulingnya Chavez dalam tempo singkat, tapi ia kembali sekitar 36 jam kemudian setelah para pendukungnya ditumpahkan ke jalanan dan faksi militer datang membantunya.
Pada 2014, kalangan aktivis oposisi garis keras memimpin protes selama berbulan-bulan, tetapi berubah menjadi kekerasan, dan menyebabkan 43 kematian. Pemimpin mereka, Leopoldo Lopez, dipenjara, dan Maduro mengonsolidasikan kekuasaan.
Pihak oposisi berharap militer -- yang masih berjanji setia sepenuhnya pada Maduro, meskipun diyakini mulai berbeda pendapat -- mungkin bisa memaksa dia mempercepat pemilihan presiden yang semula dijadwalkan berlangsung akhir 2018.
Tetapi tidak ada tanda-tanda kepada publik bahwa pilpres akan segera diadakan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News