Tiongkok menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi paling pesat di dunia. Bahkan di masa pandemi Covid-19, perekonomian Tiongkok tetap bertahan dan cenderung meningkat ketimbang negara lainnya di dunia yang justru merosot.
Pemerintah Tiongkok melalui BUMN-nya menggelontorkan uang dengan jumlah besar ke Afrika sub-Sahara. Pinjaman melalui mekanisme Belt and Road Initiative (BRI) ini dinilai sebagai jebakan utang.
Peneliti senior CENTRIS, AB Solissa mengimbau agar negara lain termasuk Indonesia waspada dengan segala bentuk kerja sama yang ditawarkan Tiongkok. Ia merujuk pada pengakuan mantan tahanan politik Tiongkok, Jianli Yang, yang juga dikenal sebagai penyintas Pembantaian Lapangan Tiananmen 1989.
Jianli Yang disebutkan mengakui pertumbuhan ekonomi Tiongkok dinilai pesat dan hampir tak tertandingi dalam sejarah peradaban manusia. Pertumbuhan ini terjadi dalam beberapa tahun setelah pembantaian Lapangan Tiananmen tahun 1989.
Menurut Jianli Yang seperti diungkap AB Solissa, pinjaman atau bantuan dana segar Tiongkok merupakan bagian dari upaya mendominasi sektor sumber daya alam Afrika, menyingkirkan pengaruh barat, dan mempromosikan pendekatan Partai Komunis China/Tiongkok.
“Wajar jika banyak yang sependapat dengan pandangan Jianli Yang terkait sistem pemerintahan otokratis Tiongkok yang memicu terjadinya korupsi, dan rendahnya penerapan HAM. Juga rendahnya peraturan terkait pengelolaan lingkungan dan moralitas,” kata AB Solissa dalam keterangannya kepada wartawan, Sabtu, 29 April 2023.
Bahayanya, lanjut AB Solissa, dalam laporan Jianli Yang, Tiongkok telah menyebarluaskan model negara dan bangsanya ke Afrika. Keterlibatan Tiongkok di Afrika menimbulkan beberapa tanda bahaya, tidak hanya karena niat eksploitatif Tiongkok, tetapi juga karena terindikasi kuat menyuburkan praktik pelanggaran hak asasi manusia.
“Menurut laporan Pusat Sumber Daya Bisnis dan Hak Asasi Manusia nirlaba yang berbasis di London baru-baru ini, dari 1.690 tuduhan pelanggaran hak asasi manusia terkait dengan investasi Tiongkok di seluruh dunia, 181 dilaporkan di Afrika,” ungkap AB Solissa.
Dari data yang dimiliki CENTRIS dan bisa diakses siapa pun dari Pusat Sumber Daya Bisnis dan Hak Asasi Manusia nirlaba yang berbasis di London, menyebutkan sebagian besar pelanggaran hak asasi manusia ini terjadi di sektor pertambangan dan konstruksi Afrika.
Kemudian berdasarkan sebuah laporan yang dirilis tahun 2017, sebanyak 60 persen hingga 87 persen perusahaan Tiongkok mengaku membayar ‘tip’ atau suap untuk mendapatkan lisensi.
Pada tahun 2019, pengadilan federal di New York menghukum mantan Menteri Dalam Negeri Hong Kong Patrick Ho tiga tahun penjara karena perannya dalam skema penyuapan pejabat Afrika untuk meningkatkan perusahaan energi Tiongkok terkemuka yang merupakan bagian dari proyek Belt and Road global Beijing.
Seperti yang ditunjukkan oleh bukti dalam kasus tersebut, Patrick Ho membayar pejabat tinggi Afrika untuk mendukung operasi CEFC China Energy dan China National Petroleum Corp di Uganda dan Chad Afrika.
Dari sini, AB Solissa menilai komunitas internasional tidak memberikan respons terhadap perilaku mengerikan Tiongkok di Afrika yang dapat merusak upaya mempromosikan demokrasi, kebebasan, dan supremasi hukum di Afrika. Ia kembali menegaskan bahwa semua negara di dunia termasuk Indonesia harus menyadari fakta-fakta ini dan mengambil sikap secara kompak.
“Ini sangat berbahanya dan dunia internasional harus concern, bahu-membahu mengantisipasi setiap langkah Beijing ini," tegas AB Solissa.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news medcom.id
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News