Mengibarkan bendera dan bermain musik, kerumunan besar warga memenuhi jalanan Tripoli dalam memperingati pemberontakan yang dimulai pada 2011. Kala itu, pemberontakan yang menggulingkan Gaddafi berawal dari kota Benghazi.
Namun hampir satu dekade kemudian, kosongnya kekuasaan usai tewasnya Gaddafi memicu konflik kekuasaan antar berbagai faksi bersenjata. Dalam konflik terbaru di Libya, pertempuran berlangsung antara pasukan Pemerintah Perjanjian Nasional (GNA) yang diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Pasukan Nasional Libya (LNA) di bawah pimpinan Jenderal Khalifa Haftar.
Mahmoud Abdelwahed dari Al Jazeera melaporkan bahwa sejumlah warga juga melakukan aksi duduk bersama dalam mengecam operasi militer yang dilancarkan LNA sejak April tahun lalu.
"(Mereka) juga mengecam kejahatan perang yang dilakukan pasukan (Haftar), terutama di area-area permukiman warga di Tripoli," lapor Abdelwahed, disiarkan di situs Al Jazeera, Selasa 18 Februari 2020.
Sejak April 2019, LNA belum dapat menembus pertahanan GNA di Tripoli. Pertempuran kedua kubu telah menewaskan lebih dari 2.000 orang dan membuat puluhan ribu lainnya kehilangan tempat tinggal.
Sejumlah kekuatan asing ikut serta dalam konflik di Libya. LNA didukung Uni Emirat Arab, Yordania, Mesir, dan Rusia. Sementara GNA belakangan ini mendapat dukungan kuat dari Turki.
Meski disebut perayaan tergulingnya Gaddafi, sejumlah warga Libya merasa tidak perlu ada yang dirayakan. Samira al Mehdi, seorang warga Tripoli, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa aksi kekerasan di negaranya meningkat sejak LNA berseteru dengan GNA.
"Bangunan di depan kami runtuh. Bom berjatuhan dari segala sesisi. Rumah kami juga hancur berantakan. Kami bisa saja tewas," ucap dia sembari menggendong anak perempuannya.
"Ada begitu banyak tragedi di sini. Ada banyak orang-orang yang menderita, bahkan lebih parah dari kami. Saya tidak punya harapan lagi. Jadi, apa yang seharusnya kami rayakan?" tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News