Kelompok relawan Save the Children mengatakan tanpa adanya bantuan darurat, kerusakan parah dalam satu generasi anak-anak di Suriah berpotensi tak bisa dipulihkan.
Sejak meletus pada 2011, perang sipil di Suriah telah menewaskan lebih dari 300 ribu orang.
Seperti dikutip BBC, Selasa 7 Maret 2017, laporan Save the Children dengan judul "Invisible Wounds" telah memperlihatkan "krisis kesehatan mental mengerikan di kalangan anak-anak Suriah."
Save the Children berbicara dengan lebih dari 450 orang di tujuh dari 14 provinsi Suriah sebagai bagian dari studi mereka. Ratusan orang itu meliputi anak-anak berbagai usia, orang tua, para pengasuh, pekerja sosial, relawan dan guru.
Hasil temuan Save the Children:
1. Hampir semua anak-anak dan 84 persen orang dewasa mengatakan bahwa pengeboman dan penembakan adalah penyebab nomor satu dari stres psikologis di Suriah.
2. Dua per tiga dari anak-anak telah kehilangan orang yang dicintai, trauma karena rumah mereka dibom atau dihancurkan, mengalami luka fisik akibat perang.
3. 71 persen dari responden mengatakan bahwa anak-anak semakin sering mengompol dan "kencing secara tak sadar" -- salah satu gejala stres berat dan gangguan stres pasca-trauma (PTSD)
4. 48 persen dari orang dewasa mengatakan, mereka melihat anak-anak yang kehilangan atau kesulitan berbicara sejak perang dimulai.
5. Hampir setengah dari mereka yang diwawancarai mengatakan, anak-anak "sering atau selalu merasa depresi atas kesedihan ekstrem."

Anak-anak di Suriah. (Foto: Save the Children)
Sebanyak 2,3 juta anak-anak telah melarikan diri dari Suriah, dan sedikitnya tiga juta anak di bawah usia enam tahun, tidak mengetahui hal lain selain perang.
Stres dapat mengganggu perkembangan otak dan organ lain serta meningkatkan risiko kecanduan dan gangguan kesehatan mental di usia dewasa, kata Alexandra Chen, spesialis perlindungan anak dan kesehatan mental di Harvard University.
"Setelah enam tahun perang, kita berada pada titik kritis, berdampak pada perkembangan anak-anak yang dan kerusakan yang ditimbulkan bisa jadi permanen," tutur Dr Marcia Brophy, penasihat senior kesehatan mental di Save the Children.
"Risiko munculnya satu generasi yang rusak, tenggelam dalam trauma dan stres ekstrem, belum pernah ada sebelumnya," pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News