"Bahkan membunuh Trump pun belum cukup untuk membalaskan dendam. Satu-satunya yang dapat membayar setimpal kematian Soleimani adalah mengusir Amerika secara menyeluruh dari kawasan," ujar Amir Ali Hajizadeh, Kepala Pasukan Dirgantara IRGC.
Minggu 5 Januari, parlemen di Baghdad meloloskan sebuah resolusi yang tak mengikat mengenai seruan agar semua pasukan asing angkat kaki dari tanah Irak.
"Trump akan melihat hasil dari petualangannya selama ini di kawasan," kata Wakil Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araqchi, mengutip suara warga Irak, disitir dari Daily Mirror, Senin 6 Januari 2020.
Dalam beberapa ketegangan sebelumnya, Iran sering mengatakan akan memilih waktu dan tempat yang tepat untuk melancarkan aksi balasan.
Trump mengklaim kematian Soleimani diperlukan demi menghentikan perang, bukan memulainya. Kematian Soleimani ditambah pernyataan Trump membuat Iran semakin berang.
Alih-alih meredakan ketegangan, Trump justru mengaku siap menyerang 52 target di Iran, termasuk beberapa situs budaya. Trump mengatakan 52 adalah angka yang sama dengan jumlah staf Kedubes AS yang ditahan selama 444 hari usai revolusi Iran. Trump menegaskan 52 target itu akan dihancurkan jika Amerika atau aset-asetnya diserang.
Sementara itu di Irak, kelompok milisi Irak yang tergabung dalam Pasukan Mobilisasi Populer (PMF) memperingatkan AS bahwa "semua opsi balas dendam masih terbuka lebar.
Sejumlah faksi dalam PMF yang didukung Iran juga mengancam akan "memulangkan prajurit Amerika dalam peti mati" jika warga AS tidak mendesak pemerintah mereka dalam menarik semua personel militer dari Irak.
Pernyataan PMF terucap usai Perdana Menteri Irak Adel Abdul Mahdi mengatakan kepada Duta Besar AS bahwa Washington harus mau bekerja sama demi mencegah terjadinya "perang terbuka" dengan Iran.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News