Keputusan bulat MA ini merupakan tahap akhir dari siklus pilpres yang tak terduga di Kenya.
Akhir pekan lalu, bentrokan meletus antar pendukung oposisi dengan polisi yang disiarkan langsung di televisi.
Kenya sudah melalui dua pilpres tahun ini, yang keduanya telah diadukan ke MA guna ditinjau kembali. Pengadilan membatalkan kemenangan Kenyatta pada 8 Agustus, dengan alasan penyimpangan.
Raila Odinga, politikus oposisi veteran yang menantang Kenyatta dalam kedua pilpres, mengatakan bahwa dia tidak akan menerima hasil pemilihan yang diadakan tahun ini. Baik yang pertama pada 8 Agustus, maupun lanjutannya pada 26 Oktober.
Bukan Sakit Hati
"Saya bukan pecundang yang sakit hati; Saya seorang demokrat," kata Odinga dalam sebuah wawancara pekan lalu. "Jika saya kalah, saya ingin bisa mengumumkan pemenangnya dengan adil," tambahnya seperti disitat Pittsburgh Post-Gazette, Selasa 21 November 2017.
Kerusuhan memaksa Odinga pergi ke luar negeri. Dia meninggalkan Kenya pada Minggu malam, menurut Salim Lone, penasihat lama Odinga dan partai politiknya. Dia sekarang berada di Zanzibar, di lepas pantai daratan Tanzania.
Pengaduan ke MA Kenya berdasar pada keadilan dan konstitusionalitas pemungutan suara terakhir. Para pemohon mengklaim bahwa komisi pemilu Kenya tidak netral dan mengikuti konstitusi saat menyelenggarakan pilpres pada 26 Oktober.
Satu pekan sebelum pemungutan suara, seorang komisaris pemilu meninggalkan negara itu -- dengan alasan hidupnya terancam -- dan mengundurkan diri. Ketua komisi mengatakan bahwa campur tangan politik oleh kedua belah pihak mengancam kredibilitas pemungutan suara.
Jelang pilpres, MA Kenya gagal menyidangkan pengaduan terakhir karena terlalu sedikit hakim yang hadir.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News