Addis Ababa: Lebih dari 2.000 tahanan dipenjara karena terlibat dalam kerusuhan yang mencekam Ethiopia antara 2015-2016 telah diampuni.
Pembebasan merupakan yang terbaru dari beberapa pekan belakangan ini. Kala pihak berwenang berupaya meredakan kerusuhan yang berlanjut sejak demonstrasi massal meletus di wilayah Oromo, yang didominasi kelompok etnis Oromo, atas tuduhan perampasan tanah, dua tahun lalu.
Ratusan orang meninggal dalam demonstrasi dan gelombang represi beruntun. Analis mengatakan bahwa kerusuhan terus berlanjut mengindikasikan ketidakpuasan berakar dalam beberapa dekade pemerintahan koalisi Demokratik Rakyat Demokratik Etiopia (EPRDF).
Juga timbul demo dan bentrokan di beberapa kawasan negara Afrika timur yang didominasi oleh kelompok Amhara.
Pada Januari, perdana menteri, Hailemariam Desalegn, tampaknya berjanji bahwa semua tahanan politik akan dibebaskan dan penjara yang terkenal karena penyiksaannya akan ditutup.
Namun, kantornya mengatakan Desalegn telah salah dikutip. Bahwa hanya "beberapa anggota partai politik dan individu lainnya" yang dituduh atau dihukum karena kejahatan akan dibebaskan "untuk membentuk sebuah konsensus nasional dan memperluas ranah politik".
Pada Jumat, pejabat tinggi di wilayah Oromo mengumumkan bahwa 2.345 narapidana diampuni, di antaranya 1.568 sudah divonis dan dijatuhi hukuman.
Sebelumnya Merera Gudina, pemimpin oposisi yang ditangkap pada Desember 2016 saat kembali dari Brussels di mana dia telah berbicara kepada anggota parlemen Eropa mengenai kekerasan di Oromiya, dibebaskan bersama 114 narapidana lainnya.
Pemerintah di Addis Ababa sejak lama dituduh oleh kelompok hak asasi manusia karena menggunakan masalah keamanan sebagai alasan menahan pembangkangan dan kebebasan media. Mereka membantah tuduhan tersebut.
Pekan lalu, PBB mendesak Ethiopia meninjau kembali status 'sejumlah besar orang' yang masih berada di balik jeruji besi.
Sembilan belas orang terkait kelompok Ginbot 7, yang dianggap 'teroris' oleh otoritas Ethiopia, baru-baru ini dijatuhi hukuman penjara yang panjang.
Juru bicara hak asasi manusia PBB Liz Throssell berkata bahwa pemerintah Addis Ababa harus meninjau hukum dan undang-undang anti-teror "demi memastikan bahwa mereka tidak ditafsirkan atau dilaksanakan secara terlalu luas, sehingga mengakibatkan orang-orang ditahan sewenang-wenang atau keliru".
"Hukum yang menempatkan pembatasan yang tidak semestinya pada organisasi non-pemerintah dan membatasi media juga harus direvisi," kata Throssell dalam sebuah konferensi pers di Jenewa, awal pekan ini, seperti dikutip Guardian, Sabtu 27 Januari 2018.
EPRDF, berkuasa selama 25 tahun, telah dipuji karena membawa jutaan orang Ethiopia keluar dari kemiskinan dan memastikan tingkat pertumbuhan yang rata-rata sekitar 10 persen selama lebih dari satu dekade.
Namun, korupsi dan distribusi kekayaan yang tidak merata, ditambah naiknya populasi muda dan berpendidikan, memicu kemarahan meningkat.
Desalegn, yang mengambil alih setelah kematian pemimpin veteran Meles Zenawi pada 2012, berulang kali menjanjikan reformasi politik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News