Sekitar 10.000 orang diperkirakan bekerja keras di hutan belantara di wilayah Amerika Selatan. Mengayak tanah untuk menyaring serpihan emas sambil kucing-kucingan dengan pihak berwenang.
Mereka telah menciptakan ekonomi klandestin, mata uangnya berupa satu gram logam mulia -- upah rata-rata harian untuk "garimpeiros" (penambang) yang berani berkubang, dan berisiko ditangkap.
Para penambang dapat membeli persediaan, mengangkut -- dan membayar suap -- dengan butiran emas yang terlipat menjadi potongan-potongan kertas, atau voucher IOU yang melambangkan satu gram, yang bernilai sekitar 30 euro atau sekitar Rp470 ribu.
Tentara marinir di Resimen Kesembilan Prancis sangat akrab dengan cara kerja masyarakat pedalaman ini, setelah melakukan puluhan penggerebekan terhadap operasi pendulangan emas.
"Anda mulai dengan tempat kerja, di mana mereka menggali dan mencuci tanah lumpur menggunakan generator dan pompa," kata Martin, kapten di resimen itu, selama patroli di wilayah Apatou bulan ini diikuti oleh wartawan AFP.
"Di sana, tidak ada alkohol yang diizinkan," kata Martin, hanya menyebut nama depannya sesuai dengan kebijakan militer. "Mereka menggunakan narkoba dan membuat diri mereka menjadi teler. Kemudian pada Sabtu malam dan Minggu, mereka pergi ke kabaret," seperti dikutip dari AFP, 1 Februari 2019.
Lebih jauh dari sungai itu, yang menyediakan satu-satunya jalur untuk mengakses situs-situs terpencil dengan perahu, terdapat kamp-kamp yang telah tumbuh menjadi desa-desa lengkap dengan bar, bengkel, toko perhiasan darurat, dan beberapa gereja di hari Minggu.
Di kabaret, para wanita menampilkan tarian tiang di atas panggung yang dihiasi bola-bola disko dan pengeras suara yang menggelegar, sementara rumah bordil terbuka di lantai atas.
Pemiliknya mengadakan pertunjukan dan permainan bingo, dengan hadiah yang disesuaikan dengan pengunjung mereka: Untuk Malam Tahun Baru, kabaret "Garimpo Iopass" menawarkan kesempatan memenangkan motor pompa atau mesin tempel Yamaha.
Tergantung pada bagaimana lancarnya jalur pasokan, sepasang sepatu bot di toko desa dapat berharga 30 gram emas -- hampir 1.000 euro setara Rp16 juta -- sementara sebotol minuman keras cachaca berharga lima hingga 10 gram.
Satu pak terdiri enam botol bir dingin berharga sekitar satu gram dan pasukan Prancis memantau harga ini secara khusus, melihatnya sebagai indikator kunci seberapa baik mereka mengusik rute pasokan.
"Untuk beroperasi jauh di dalam hutan, logistik sangat penting," kata Charles, kapten lain di patroli Apatou.
"Semuanya harus dibawa, pertama-tama bahan bakar untuk pompa dan generator," katanya. "Jadi, mereka butuh kano, lalu ATV."
Pengemudi ATV, yang hampir selalu orang Brazil, dan pengemudi kano biasanya wiraswasta, dibayar per perjalanan. Kendaraan segala medan, terutama Honda, disesuaikan dengan melepas rem belakang -- tiada guna di lumpur hutan -- dan menambahkan pegas ketiga di belakang buat menyerap beban yang lebih berat.
"Saya pernah melihat ATV membawa tujuh kaleng 60 liter, plus perlengkapan," kata Charles tentang kendaraan itu, senilai 400 gram, atau sekitar 12 ribu euro berkisar Rp192 juta.
Di tempat kerja juga siaga gerombolan penjaja yang menawarkan akses ke jalan setapak atau jalan pintas yang terus mereka sembunyikan dengan rantai berat. Biaya tol lewat situ, dua gram.
Di bagian bawah piramida ada "petroleros" yang mengangkut jerigen diesel melintasi hutan dengan berjalan kaki, sementara "raseros" mendapat beberapa gram dengan membersihkan tanaman merambat dan pohon untuk kamp baru.
Tukang kayu yang memakai gergaji mesin menghasilkan lebih banyak, karena mereka memotong pohon menjadi papan untuk meja penyortiran dan pemilahan.
Juga dibayar dengan baik, yakni penempa perhiasan yang melelehkan butir-butir emas dan fragmen di oven tanah liat terbuka, membentuk cincin atau kalung yang belum sempurna dengan cetakan palsu dari para desainer dadakan.
Jika ditangkap, seorang "garimpeiro" mungkin dapat menjaga perhiasannya bahkan jika semua bahan lainnya -- sering diperoleh dengan mengambil utang besar -- disita atau dihancurkan.
Di puncak rantai ekonomi itu adalah pedagang Tiongkok di sisi Suriname dari sungai Maroni, yang memasok semua sekop, penyemprot bertekanan tinggi, dan peralatan lainnya yang diperlukan untuk kamp pendulangan.
Di dalam toko mereka ada sekarung beras dan kacang-kacangan, dan lemari pendingin diisi ayam beku dan daging lainnya. Di luarnya puluhan barel bahan bakar, selang, dan kendaraan ATV.
"Mereka sangat kaya karena mereka mendapat untung dua kali: Mereka menjual perlengkapan di satu sisi, kemudian membeli emas dan menyetornya ke rekening di Suriname di sisi lain," kata Jean-Sebastien, kapten Prancis lainnya.
"Mereka memberikan pinjaman kepada garimpeiros dan mendapat untung dari kerja mereka, tanpa harus meninggalkan toko," katanya, seperti disitir dari laman AFP, Kamis 31 Januari 2019.
"Tapi mereka juga harus menanggung biaya," tambah Martin. "Mereka diganggu oleh tentara dan polisi Suriname, dan kadang-kadang oleh geng kekerasan."
Dan di dunia di mana demam emas berlimpah seiring dengan risiko malaria atau penyakit kaki bengkak beri-beri, perselisihan diselesaikan dengan senapan, jika bukan Kalashnikov.
Di sepanjang jalan setapak hutan, gundukan tanah baru menandai kuburan paling baru, mungkin dengan sebotol rum terbalik mirip sebuah tanda salib.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News