medcom.id, Accra: Nana Akufo-Addo memenangkan pemilihan nasional Ghana, pada Jumat 9 Desember. Ia memanfaatkan pemilih yang muak dengan mandeknya ekonomi dan siap untuk melakukan perubahan.
Pengacara hak asasi manusia (HAM) berusia 72 tahun tersebut melaju dengan 53,8 persen suara kemenangan, menurut kantor pemilu negara itu.
"Saya tidak akan mengecewakan Anda. Saya akan melakukan segalanya dalam kekuasaan saya untuk menghidupkan harapan dan keinginan Anda," kata Akufo-Addo kepada pendukungnya yang berkerumun gembira di rumahnya di Ibu Kota Accra.
"Saya akan melakukan yang terbaik untuk melayani kepentingan Anda dan menempatkan negara kita kembali pada jalan kemajuan dan kemakmuran," serunya seperti dikutip AFP, Sabtu (10/12/2016).
.jpg)
Pendukung Akufo-Addo (Foto: AFP).
.jpg)
Pendukung Akufo-Addo (Foto: AFP).
Sementara capres petahana John Mahama mengakui kekalahan setelah dua hari pilpres digelar yang dipandang sebagai ujian demokrasi negara itu di kawasan yang penuh gangguan diktator dan kudeta.
Mahama menelepon untuk memberi selamat kepada pemimpin oposisi Akufo-Addo, asal Partai Patriotik Baru (NPP). Pendukung sang pemenang telah berkumpul selama berjam-jam di luar rumahnya setelah media lokal melansir dia unggul perolehan suara, Rabu 7 Desember.
"Ya, dia telah mengakui kekalahan," kata George Lawson dari partai asal Mahama, Kongres Demokratik Baru (NDC).
Akufo-Addo telah berkampanye pada pelantar yang menjanjikan untuk meningkatkan pertumbuhan dan menyediakan lapangan pekerjaan.
"Presiden Ghana adalah presiden untuk setiap satu orang rakyat Ghana," kata Akufo-Addo, di saat kembang api menyala ke langit dan ribuan orang bersorak di jalanan di luar rumahnya.
Standar emas
Para pendukung Akufo-Addo -- hampir semuanya berbaju putih, simbol kemenangan -- menari-nari di halaman selama berjam-jam sambil menunggu pidato kemenangannya.
Pada satu ketika, suara mereka membahana dengan antusias membawakan secara akapela lagu kebangsaan Ghana.
"Kami sudah menang," kata Hajia Mustafa, seorang pedagang 44 tahun, melempar senyum lebar, "Saya punya presiden saya, saya memiliki pilihan saya."
Pilpres berisiko tinggi antara Akufo-Addo dan Mahama telah dilihat sebagai tes lakmus dari stabilitas bagi salah satu negara demokrasi yang paling aman di Afrika.
Tapi ketakutan akan kekerasan meluas meletus selama pemilu tidak pernah terwujud. Hari pemungutan suara secara damai diikuti dengan ketenangan sewaktu hasil resmi diumumkan.
"Saya pikir Ghana harus sangat bangga kepada diri mereka sendiri," kata Duta Besar Johnnie Carson dari National Democratic Institute, pengamat pemilu.
"Ghana sudah berbeda dalam dua setengah dekade terakhir dengan integritas dan transparansi," tutur Carson.
"Ini adalah standar emas untuk demokrasi di Afrika," bubuhnya.
Kekerasan masih ada
Namun, sementara itu, Misi Pemantauan Pemilu Uni Eropa mengatakan bahwa Ghana "sebagian besar masih dilanda kekerasan yang banyak ditakuti" mengacu ke beberapa daerah lain yang luput dari perhatian.
"Penyalahgunaan jabatan, termasuk akses tidak setara terhadap media pemerintah, dan pembiayaan kampanye yang tidak akuntabel di beberapa daerah Ghana bisa diatasi di masa depan," kata misi dalam sebuah pernyataan.
Akufo-Addo akan menjalani masa jabatan empat tahun di bekas koloni Inggris, sebuah negara berkembang yang ekonominya mulai melambat, mata uangnya memburuk, dan inflasinya melambung.
Mahama, yang berkuasa pada 2012 setelah mengalahkan Akufo-Addo, telah mendesak para pemilih untuk "terus berjalan", berjanji menyediakan proyek-proyek infrastruktur yang lebih banyak.
Dalam upaya ketiganya merebut jabatan tertinggi, Akufo-Addo mengecam tingkat pertumbuhan ekonomi miskin Ghana -- diperkirakan 3,3 persen pada 2016, tingkat terendah selama dua dekade -- dan meletakkan sebuah visi radikal untuk mengubah perekonomian negara.
Akufo-Addo juga telah memperingatkan pendukungnya bahwa "kewaspadaan adalah kunci" di pilpres dalam upaya untuk menghindari terulangnya kontes 2012 -- di mana Mahama menang tipis dengan 50,7 persen -- yang kemudian digugatnya tanpa hasil di Mahkamah Agung.
Ghana merupakan produsen kakao terbesar kedua di dunia setelah Pantai Gading dan produsen emas terbesar kedua Afrika setelah Afrika Selatan.
Tapi negeri ini terpaksa berpaling ke Dana Moneter Internasional (IMF) pada 2015 untuk meminjam dana talangan karena harga komoditas global ambruk.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News