Ini merupakan pembebasan tunggal terbesar tentara anak di Sudan Selatan sejak 2015 yang dijamin UNICEF dan komisi perlucutan senjata bentukan pemerintah.
Anak-anak itu berasal dari pemberontak SPLA-In-Opposition, yang dipimpin mantan Wakil Presiden Riek Machar, dan Fraksi Cobra, yang menandatangani perjanjian perdamaian dengan pemerintah pada 2014.
"Harapan kami pembebasan hari ini akan diikuti oleh banyak yang lain," Mahimbo Mdoe, kepala UNICEF di Sudan Selatan, mengatakan dalam sebuah pernyataan, yang dikutip All Africa dari Reuters, DPA, dan AFP, Rabu (26/10/2016).
"Prioritas kami membawa mereka kembali ke sekolah dan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat sehingga anak-anak itu dapat melihat masa depan yang lebih menjanjikan," tambahnya.
Setelah dibebaskan, para tentara anak langsung dilucuti persenjataannya, diberi pakaian sipil dan didaftarkan dalam program reintegrasi. Mereka semua akan menjalani penyuluhan agar bisa hidup harmonis bersama masyarakat. Keluarga anak-anak itu telah menerima bantuan pangan dan ternak selama tiga bulan.
Menurut Mdoe, anak-anak di Sudan Selatan perlu keselamatan, perlindungan, dan kesempatan. "Pertempuran sedang berlangsung di seluruh negeri, sehingga UNICEF terus menerima laporan tentang perekrutan (tentara) anak-anak," katanya.
"Kami mendesak semua pihak mematuhi hukum internasional, untuk mengakhiri perekrutan dan melepaskan anak-anak yang saat ini menjadi barisan mereka," pungkasnya.
Perang Saudara

Personel kelompok SPLA. (Foto: AFP)
Negara terbaru di dunia, Sudan Selatan ricuh akibat perang saudara sejak Desember 2013, menyusul perselisihan antara Presiden Salva Kiir dan Machar, wakilnya yang dipecat.
Tentara, para pemberontak, dan milisi sekutu diperkirakan merekrut 16.000 anak-anak sejak konflik dimulai.
Kedua kelompok, yang sebagian besar terpisah lantaran perbedaan paham, menandatangani perjanjian damai pada 2015. Namun pertempuran sengit pecah lagi pada Juli setelah perjanjian sering dilanggar.
Machar, yang sedang menjalani perawatan medis di Afrika Selatan, telah mendesak pasukannya untuk menata ulang perlawanan bersenjata terhadap pemerintah Kiir. Beberapa pemantau HAM mengatakan, anak-anak sering dipaksa bergabung dengan kelompok itu demi menyelamatkan diri dan melindungi komunitas mereka.
Konflik di Sudan Selatan telah menewaskan puluhan ribu jiwa dan membuat sekitar 2,5 juta orang mengungsi ke tempat lain.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News