Diab dilaporkan gagal mengamankan dukungan dari blok utama yang dipimpin Sunni, yang dapat mempersulit pembentukan pemerintahan baru dan mengamankan bantuan Barat.
Dia muncul sebagai kandidat saat PM Saad Hariri mengundurkan diri pada Rabu. Hariri mundur pada Oktober setelah protes massal dipicu kemarahan atas korupsi dan salah urus ekonomi.
Dikutip dari BBC, Jumat 20 Desember 2019, negosiasi mengenai penggantian terhenti atas pembentukan pemerintah baru. Beberapa pihak mendukung permintaan para pemrotes untuk kabinet independen dari para teknokrat yang tidak terafiliasi partai dan yang lainnya bersikeras bahwa kabinet harus termasuk politisi.
Mekanisme pemilihan
Pada Kamis, Presiden Michel Aoun mengadakan konsultasi formal dengan anggota parlemen mengenai siapa yang akan disebut sebagai perdana menteri. Jabatan itu harus diberikan kepada seorang Muslim Sunni di bawah sistem pembagian kekuasaan atas pengakuan agama yang kompleks di Lebanon. Aoun diminta untuk menunjuk kandidat dengan dukungan terbanyak.
Diab dinominasikan oleh faksi-faksi Muslim Syiah terbesar, Hizbullah dan Amal, serta kristen maronit Free Patriotic Movement (FPM). Secara bersama, kelompok-kelompok itu mengendalikan mayoritas kursi di parlemen yang beranggotakan 128 orang.
Kandidat di tempat kedua adalah Nawwaf Salam, mantan hakim di Pengadilan Kriminal Internasional di Den Haag.
Gerakan Future Movement naungan Hariri yang dipimpin Sunni tidak mencalonkan siapa pun dan mengatakan kepada presiden bahwa ia tidak akan berpartisipasi dalam pemerintahan berikutnya, sumber yang dekat dengan perdana menteri mengatakan.
Hariri akan dicalonkan untuk masa jabatan ketiga setelah lembaga agama Sunni memberikan dukungan di balik pencalonannya.
Tetapi dia menarik diri pada Rabu malam, dengan berkilah: "Sudah jelas bahwa terlepas dari komitmen absolut saya untuk membentuk pemerintah spesialis, posisi (orang lain) tidak berubah."
Pemimpin FPM Gebran Bassil, menantu Aoun, menyebut langkah itu "bertanggung jawab".
Latar belakang Diab
Diab, 60, memiliki gelar PhD di bidang teknik komputer dari University of Bath di Inggris dan telah mengampu kuliah di American University of Beirut sejak 1985.
Pada 2006, ia diangkat sebagai wakil presiden Program Eksternal Regional (REP) AUB, badan konsultasi dan pengembangan profesional universitas.
Diab menjabat sebagai menteri pendidikan antara 2011 dan 2014, di bawah Perdana Menteri saat itu Najib Mikati.
Menurut sebuah biografi 2018, Diab adalah satu dari sedikit teknokrat non-partai yang menjadi menteri di Lebanon. Dia juga menteri pendidikan Lebanon pertama yang memiliki latar belakang profesional di pendidikan tinggi.
Setelah meletakkan jabatan, ia kembali ke peran mengajar dan administrasi di AUB.
Elie Ferzli, wakil ketua parlemen Kristen Ortodoks Yunani dan sekutu Hizbullah, mengatakan pencalonan Diab mengambil "perhitungan beberapa prasyarat dasar yang diinginkan oleh rakyat" dan menyebutnya "tokoh berintegritas".
Tetapi Mikati, yang telah mendukung pencalonan Hariri, mengatakan dia skeptis bahwa Diab akan dapat memimpin Lebanon keluar dari krisis politik dan ekonomi.
Massa protes
Demonstrasi terbesar sudah tampak di Lebanon dalam lebih dari satu dekade. Mereka memutus garis sektarian, sebuah fenomena langka sejak perang saudara yang menghancurkan 1975-1990 berakhir, dan melibatkan orang-orang dari semua sektor masyarakat.
Selain pembentukan kabinet independen dan non-sektarian, pengunjuk rasa menginginkan perombakan sistem politik dan mengakhiri korupsi pemerintah.
Utang Lebanon setara dengan lebih dari 150 persen produk domestik bruto (PDB), ekonominya mengalami stagnasi, dan mata uangnya telah kehilangan nilainya terhadap dolar Amerika untuk kali pertama dalam dua dekade.
Infrastruktur publik negara itu, yang sudah membentang sebelum lebih dari satu juta pengungsi tiba dari Suriah, juga sedang sekarat. Listrik dan pasokan air sering terganggu dan sampah kerap menumpuk di jalanan.
Pada Kamis, Amnesty International meminta pemerintah Lebanon meluncurkan penyelidikan kriminal yang independen dan menyeluruh terhadap tindakan keras dilakukan oleh personel keamanan terhadap para demonstran yang sebagian besar damai di Beirut pada Sabtu, di mana setidaknya 135 orang terluka.
Kelompok hak asasi manusia menuduh bahwa pasukan keamanan menggunakan kekuatan berlebihan untuk membubarkan demonstran, menembakkan gas air mata dalam jumlah besar ke kerumunan, dan mengejar pengunjuk rasa di jalan-jalan dan gang-gang di bawah todongan senjata dan memukuli mereka.
Bentrokan ringan juga terjadi pada Senin dan Selasa malam. Polisi menggunakan gas air mata terhadap pengunjuk rasa yang melemparkan batu, botol air, dan petasan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News