Kabila, yang didesak pedemo agar dia tidak melanjutkan kepemimpinannya ke periode ketiga, sudah berkuasa di DR Kongo sejak 2001. Ketika itu, dia menggantikan ayahnya yang meninggal dunia, Laurent Kabila.
Dia sempat menolak mundur pada akhir masa jabatan kedua dan terakhirnya pada Desember 2016.
Penolakan itu memicu protes dan bentrokan berdarah. Pemerintah pun merespons dengan melarang demonstrasi sejak September 2016. Namun beberapa orang tetap berunjuk rasa, kendati banyak yang berakhir dengan pertumpahan darah.
"Demonstrasi besok (Minggu) di DR Kongo bisa menjadi yang terbesar sejak tahun lalu," kata analis Jason Elmstearns, seorang pakar DR Kongo di Pusat Kerja Sama Internasional New York University.
"Semua partai oposisi besar, masyarakat sipil, gerakan pemuda, dan Gereja Katolik telah mendukung demonstrasi damai," tambah Stearns seperti disitat AFP, Minggu 31 Desember 2017.
Pemilu DR Kongo dijadwalkan berlangsung akhir tahun ini di bawah kesepakatan yang dimediasi gereja. Tujuan kesepakatan adalah menghindari lebih banyak kekerasan di DR Kongo, sebuah negara kaya mineral.
DR Kongo belum pernah mengalami transisi kekuasaan yang damai sejak merdeka dari Belgia pada 1960.
Setelah ditunda beberapa kali, pemilu di DR Kongo dijadwalkan berlangsung 23 Desember tahun depan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News