Palestina menuduh Yahya memasukkan "bermacam-macam istilah seksual" dalam sebuah karya provokatif yang melukiskan isu-isu tabu seperti fanatisme, ekstremisme agama, dan homoseksualitas.
Tindakan keras atas Yahya, 29, telah memicu debat publik antara kaum konservatif mayoritas masyarakat Palestina dengan minoritas liberal.
Dalam sebuah wawancara telepon, Yahya mengatakan kepada Associated Press bahwa dia pergi ke Doha begitu tahu soal larangan dan perintah penangkapan dari kantor berita resmi pemerintah. Dia sekarang telantar di Doha dan takut segera ditangkap bila kembali ke rumah.
"Saya tidak tahu apa yang harus dilakukan. Jika saya kembali, saya akan ditangkap, dan jika saya tinggal di sini, saya tidak bisa tinggal jauh dari rumah saya dan keluarga," katanya seperti dilansir AP, Jumat (10/2/2017).
Novel berjudul "Kejahatan di Ramallah," bercerita tentang kehidupan tiga pemuda Palestina yang bertemu di kota tersebut. Ramallah berfungsi sebagai basis otoritas Palestina dalam memerintah kawasan kantong-kantong otonom di Tepi Barat yang saat ini diduduki Israel. Ketiga pemuda sama-sama bekerja di sebuah bar, di mana terjadi kasus pembunuhan seorang gadis.
Fanatisme, Ekstremisme dan Homoseksualitas
Satu dari tiga pemuda, yang ternyata adalah gay, ditangkap dan diinterogasi tentang kejahatan itu. Meski dibebaskan dari tuduhan, petugas menyadari bahwa dia gay. Mereka memukuli dan mempermalukan dirinya. Akhirnya dia pindah ke Prancis, mencari masyarakat yang mau menerima keadaannya.
Pria kedua dimarahi keluarganya yang konservatif setelah mereka tahu dia bekerja di sebuah bar, tempat menjual alkohol yang dilarang Islam. Kelak, dalam novel ini, ia berubah jadi seorang ekstremis agama.
Pemuda ketiga adalah kekasih perempuan yang terbunuh. Dia dihantui pembunuhan tersebut, yang disaksikannya tanpa sanggup menolong. Ia tidak yakin apakah harus mengejar pembunuh atau berupaya menyelamatkan pacarnya yang sekarat.
Karena tidak tahan tersiksa, dia akhirnya bunuh diri. Adegan ini bertendensi melambangkan gerakan nasional Palestina, yang gagal menyelamatkan bangsa atau memberi kemerdekaan dari pendudukan 50 tahun Israel.
"Seperti semua masyarakat di wilayah tersebut, di masyarakat kami tumbuh fanatisme dan ekstremisme dan mereproduksi pandangan sosial yang konservatif," kata Yahya. "Tren ini muncul di masyarakat dalam campuran slogan religus dan nasional."
Novel ini menertawakan para pemimpin Palestina dan menggambarkan mereka sebagai pecundang. Juga dihiasi pelbagai bahasa seksual grafis yang banyak dilihat sebagai sesuatu yang tidak dapat diterima dalam masyarakat konservatif.
Kritik atas novel dan penulis telah meluas, bahkan di antara sesama rekannya.

Tembok pembatas antara Ramallah dan Yerusalem Timur. (Foto: AFP)
Melewati Batas
Yahya "berjalan terlalu jauh melewati batasan-batasan yang ada di masyarakat Palestina," kata profesor sastra Adel Osta. "Novel ini menyajikan citra buruk dari Otoritas Palestina, dan menggunakan kata-kata seksual asing yang mendorong Otoritas Palestina melarangnya."
Ketua Persatuan Penulis Palestina (PWU), Murad Sudani, mengecam keras Yahya yang dinilainya menulis "novel konyol yang melanggar nilai-nilai nasional dan keagamaan masyarakat dalam rangka menyenangkan Barat untuk mendapatkan hadiah."
"Tugas penulis adalah meningkatkan harapan dan mencerahkan masyarakat -- tidak melanggar simbol nasional dan agama," tambah Sudani. "Kebebasan saya sebagai penulis berakhir ketika kebebasan negara dimulai."
Yahya mengatakan, sejak surat perintah itu dikeluarkan, para kritikus sudah mulai mengancam mau menyakiti dia dan keluarganya. "Saya tidak tahu apa lagi yang akan mereka lakukan," katanya.
Ghassan Khader, pengguna Facebook Palestina, menulis di laman bahwa Yahya "harus dibunuh atau ditangkap atau dideportasi."
Pengguna Facebook lain, Hussein Mihyar, menulis pada laman Jaksa Agung. "Novel ini berpihak pada pendudukan Israel dan menghancurkan generasi muda kita," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News