Memasuki hari kelima dalam gempuran serangan udara koalisi terhadap pemberontak Houthi, penduduk Hudaida menatap masa depan yang tidak pasti. Ribuan warga sipil terpaksa meninggalkan kota dan desa mereka di pinggiran selatan Hudaida.
"Suara pesawat tempur di atas sana tidak pernah berhenti, siang dan malam," ucap Manal Qaed, wartawan independen yang bekerja dengan pusat komunitas bagi para pengungsi di Hudaida, kepada Al Jazeera melalui telepon, pada Minggu 17 Juni.
"Pesawat-pesawat itu terbang rendah di langit; kami mendengar setiap ledakan di pinggiran kota," tambah lelaki berusia 34 tahun itu.
"Semua orang khawatir. Kami hanya tidak tahu apa yang akan terjadi," serunya, seperti dilansir Al Jazeera, Senin 18 Juni 2018.
Memasuki tiga tahun perang di Yaman, pasukan pemerintah yang didukung koalisi Arab Saudi melancarkan operasi terbaru ke Hudaida pada 13 Juni. Upaya ini memaksa pemberontak Houthi yang disokong Iran melepaskan beberapa area di kota tersebut.
Digambarkan oleh PBB sebagai tulang punggung bagi warga Yaman, Hudaida bertanggung jawab atas lebih dari 70 persen impor negara tersebut sebelum 2015. Namun koalisi mengatakan lokasinya telah digunakan para pemberontak untuk menyelundupkan senjata dari Iran.
Pasukan Arab Saudi dan UEA ingin menguasai pelabuhan tersebut, untuk kemudian diserahkan kepada komite yang diawasi PBB atau kepada Presiden Yaman Abedrabbo Mansour Hadi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News