Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan (kanan) bersama Kanselir Jerman Angela Merkel. (Foto: AFP)
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan (kanan) bersama Kanselir Jerman Angela Merkel. (Foto: AFP)

Erdogan Dorong Eropa Dukung Pemerintah Resmi Libya

Willy Haryono • 18 Januari 2020 20:08
Ankara: Menjelang negosiasi konflik Libya untuk kali kedua pekan ini, Presiden Recep Tayyip Erdogan menegaskan bahwa Turki adalah kunci dari proses perdamaian di negara tersebut. Untuk mewujudkan perdamaian tersebut, Erdogan menyerukan Uni Eropa untuk mendukung negaranya dan juga pemerintah resmi Libya.
 
Dialog damai perdana konflik Libya di Moskow pada Senin kemarin berakhir gagal. Dialog kedua dijadwalkan digelar di Berlin pada Minggu 19 Januari besok.
 
"Jika UE tidak mendukung GNA, maka hal tersebut merupakan pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip utama mereka, termasuk demokrasi dan hak asasi manusia," tutur Erdogan kepada kantor berita Politico, seperti dilansir oleh Yeni Safak, Sabtu 18 Januari 2020.

Pernyataan Erdogan hadir dalam sebuah artikel berjudul "Jalan menuju Perdamaian di Libya melalui Turki." Dalam artikel, Erdogan memperingatkan UE mengenai potensi munculnya ancaman baru jika Benua Biru tidak mendukung pemerintahan resmi Libya, yakni Pemerintahan Perjanjian Nasional (GNA).
 
"Eropa akan menghadapi rangkaian masalah dan ancaman baru jika pemerintahan resmi Libya runtuh," tambah dia.
 
Erdogan juga mengatakan bahwa bekerja dengan Turki merupakan pilihan yang sudah jelas harus diambil Eropa. Ini dikarenakan Eropa terlihat tidak tertarik untuk menyalurkan bantuan militer kepada Libya.
 
"Turki akan melatih pasukan keamanan Libya dan melatih mereka memerangi terorisme, perdagangan manusia dan juga ancaman berat lainnya terhadap keamanan global," sebut Erdogan.
 
Pada 12 Januari, kubu bertikai di Libya mengumumkan gencatan senjata seperti yang telah diserukan Turki dan Rusia. Namun dialog untuk mengesahkan gencatan senjata di Moskow pada Senin kemarin berakhir gagal, usai pemimpin Pasukan Nasional Libya (LNA) Jenderal Khalifa Haftar -- yang merupakan rival GNA -- meninggalkan ibu kota Rusia tanpa menandatangani perjanjian.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WIL)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan