medcom.id, Ankara: Jutaan warga Turki akan melakukan pemungutan suara, pada Minggu 16 April, untuk memilih dalam referendum yang kemungkinan mengubah negara itu menjadi republik presidensial. Kancah ini bisa menjadi salah satu perkembangan yang paling signifikan dalam sejarah bangsa Turki sejak didirikan setelah runtuhnya Kekaisaran Ottoman.
Pemungutan suara mengakhiri masa dua bulan kampanye yang telah melanjutkan polarisasi negara yang masih belum pulih dari upaya kudeta di mana 265 orang tewas dan ratusan luka-luka. Diwarnai seringnya serangan teror dan dampak perang sipil yang sedang berlangsung di negara tetangga Suriah.
Masa persiapan pemungutan suara telah digaduhkan retorika yang memecah-belah dan saling tuding di kedua pihak yang memperparah perpecahan dalam masyarakat. Pendukung pemerintah sudah menyamakan mereka yang akan memilih "tidak" pada amandemen konstitusi dengan kelompok teroris, dan juru kampanye oposisi menuduh orang-orang yang akan memilih "ya" bersekongkol dengan fasisme dan kediktatoran.
Hanya sedikit yang bisa dikumpulkan dari opini jajak pendapat. Polling di kedua pihak telah menunjukkan hasil yang sangat berbeda, dan jumlah pemilih yang belum memutuskan atau mereka yang menolak untuk memberitahu lembaga survei apa yang akan mereka pilih dilaporkan jauh lebih tinggi daripada di pemilu lalu atau beberapa referendum sebelumnya, menyisakan marjin kesalahan yang membuat data tidak banyak berarti.
Ajang kampanye sudah memfokuskan kembali perhatian pada pelanggaran pemerintah pasca-kudeta, termasuk pembersihan yang telah jauh melampaui dari mereka yang mendukung kudeta tersebut demi menargetkan orang-orang yang menentang kebijakan Presiden Recep Tayyip Erdogan. Puluhan ribu akademisi, hakim, penegak hukum, dan militer diberhentikan, dan politisi oposisi papan atas serta puluhan wartawan telah ditangkap dalam beberapa bulan menjelang referendum.
Hal yang disoroti juga pergeseran Turki menjauh dari beberapa sekutu baratnya, dari calon anggota Uni Eropa pada tahun-tahun awal kekuasaan Erdogan. Kini muncul permusuhan terbuka dengan blok tersebut, di mana para pemimpinnya menuduh presiden Turki menekan kebebasan dengan kekerasan. Sementara Erdogan menyebut mereka “mantan Nazi” dan "fasis" yang secara moral telah berkompromi dengan perlakuan mereka terhadap Turki dan para pengungsi Suriah.
"Insya Allah, pada Minggu malam, Eropa akan mendengar suara kami. Kami akan menunjukkan kepada mereka bahwa Turki bukanlah Turki kuno setelah 16 April," media lokal mengutip Erdogan mengatakan pada reli, Kamis 13 April, seperti dilansir Guardian, Sabtu 15 April 2017.
Mereka yang mengambil bagian dalam referendum, Minggu, akan memilih ya atau tidak untuk serangkaian amandemen konstitusi yang akan mengubah negara dari demokrasi parlementer menjadi sebuah republik yang dipimpin presiden. Sistem baru ini juga memungkinkan Erdogan menjabat selama dua periode pemilu lagi, berpotensi memerintah sebagai pemimpin eksekutif yang kuat sampai 2029.
Reformasi akan meniadakan peran perdana menteri, menurunkan usia minimal anggota parlemen dan memperluas jumlah mereka, menghilangkan pengawasan parlemen atas kementerian, memungkinkan presiden untuk menunjuk lebih banyak hakim dan mempertahankan afiliasi dengan partainya, menghapuskan pengadilan militer, dan memungkinkan pemakzulan kepala negara oleh legislatif.
Para pendukung reformasi berpendapat itu akan membuat “Turki kuat”, sehingga pertumbuhan ekonomi tidak lagi terhambat oleh perseteruan politik sengit koalisi pemerintahan. Mereka juga mengatakan hal itu akan memperkuat kekuasaan pemerintah dalam memerangi terorisme, dan membawa stabilitas serta kemakmuran bagi negara dengan memberi kebebasan bagi reformasi kelembagaan.
Mereka juga katakan perubahan tersebut akan meninggalkan warisan sebuah konstitusi yang disahkan pada awal 1980-an di bawah arahan militer, yang terkesan menimbulkan konflik kekuasaan antara presiden dan perdana menteri, membatasi kemampuan pemerintah sebelumnya.
Para penentang berpendapat bahwa perubahan secara efektif akan menyebabkan kekuasaan terpusat pada satu orang dan otokrasi yang dikepalai Erdogan. Mereka menunjukkan bahwa partai yang berkuasa Keadilan dan Pembangunan (AK) telah memerintah selama satu setengah dekade, tetapi gagal membawa stabilitas ke negara, yang berjuang dengan serangan teror berulang kali, masuknya arus pengungsi, dan pemberontakan separatis Kurdi di tenggara yang telah menghancurkan sejumlah kota di kawasan.
Mereka juga menunjukkan tindakan keras meluas terhadap media dan oposisi sebagai indikasi kecenderungan otokratis pemerintah dan ketidakadilan. Cuma segelintir gerai media yang terang-terangan melawan Erdogan dibiarkan bebas.
Cumhuriyet, harian oposisi terkemuka, telah hampir selusin staf dan anggota dewan redaksinya ditangkap dan wartawannya sedang menghadapi sidang dakwaan. Partai Rakyat Demokratik pro-Kurdi (HDP), pernah jadi sumber harapan utama bagi aktivis oposisi dan minoritas yang bergabung dengan gerakan ini, sudah dua pimpinannya dipenjarakan, termasuk pemimpin oposisi karismatik Selahattin Demirtas. Ketua partai lain, Figen Yuksekdag, statusnya sebagai anggota parlemen telah dicabut dan menghadapi ancaman hukuman penjara.
Referendum juga akan mewakili mosi percaya sepenuhnya atas Erdogan sendiri. Presiden pertama yang dipilih secara populer dalam sejarah Turki kemungkinan berubah posisi seremonial menjadi peran dengan pengaruh lebih kuat. Jika amandemen konstitusi disetujui, dia bisa menjadi orang yang paling berkuasa di Turki sejak Mustafa Kemal Ataturk, pendiri republik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News