"Dalam masalah Tibet, selama bertahun-tahun kita telah melihat hilangnya ribuan danau, munculnya gurun, hilangnya gletser, yang diperkirakan akan hilang hingga 50 persen pada tahun 2050," kata Associate Profesor Universitas Binus Dinna Prapto Raharjo yang dikutip dalam Webinar Internasional bertajuk "Fighting for Independence Continues in Tibet Through Chinese Repression", pada Senin 13 Februari 2023 lalu.
Menurut Dinna, ancaman ini berkaitan dengan hegemoni atau pengaruh Tiongkok selama puluhan tahun di Tibet. Pasalnya, Tiongkok memiliki proyek pembangkit listrik tenaga air yang diyakini berpengaruh pada pasokan air di kawasan Asia Selatan tersebut.
"Tiongkok entah bagaimana memiliki perannya dalam mempercepat hal yang terburuk (hilangnya sumber air dunia, khususnya di kawasan Asia Selatan)," ungkap Dinna.
Dewan Pimpinan Pusat Pelajar Islam Indonesia (DPP PII) yang selama ini memiliki perhatian terhadap isu di kawasan Tibet, ikut merespons isu tersebut. DPP PII mengimbau Pemerintah Indonesia dan negara-negara lain ikut peduli terkait ancaman yang dinilai serius ini.
Wakil Bendahara Umum DPP PII, Furqan Raka berharap negara-negara di dunia khususnya Indonesia berperan agar eksplorasi Tiongkok di Tibet segera dihentikan. Menurut Furqan, eksplorasi ini terbukti tidak memerhatikan dampak lingkungan bagi Tibet dan dunia pada umumnya dan murni dilakukan untuk kepentingan dan keuntungan bangsanya sendiri.
“Pertama kami minta Beijing untuk menghentikan seluruh kegiatan eksplorasi sumber daya alam Tibet, yang mereka lakukan secara ugal-ugalan,” kata Furqan kepada wartawan, Rabu 15 Februari 2023.
Lebih lanjut, Furqan menegaskan Tiongkok sebenarnya tidak berhak melakukan eksplorasi dan mengendalikan Tibet, mengingat dalam catatan sejarah Tibet yang banyak beredar di media massa dan media sosial, diketahui Tiongkok bukan pemilik wilayah tersebut.
Salah satu sejarah yang membuktikan hal tersebut dapat dilihat pada sebuah perjanjian perdamaian formal yang disepakati antara Tiongkok dan Tibet pada tahun 821/823 M, terkait perbatasan antara kedua negara.
“Akan tetapi, pemerintah kekaisaran Tiongkok di Peking (Beijing) terus mengklaim beberapa otoritas atas Tibet,” sesal Furqan.
Furqan menambahkan tentara kekaisaran Tiongkok mencoba untuk menegaskan kembali pengaruh pada tahun 1910, dengan menyerang negara dan menduduki Lhasa Tibet. Akan tetapi, setelah revolusi 1911 di Tiongkok dan penggulingan Kekaisaran Manchu, pasukan Tiongkok menyerah kepada tentara Tibet dan dipulangkan di bawah perjanjian perdamaian Sino-Tibet.
Dalai Lama atau pimpinan tertinggi Tibet saat itu menegaskan kembali kemerdekaan penuh Tibet secara internal dengan mengeluarkan proklamasi dan secara eksternal, menjalin komunikasi dengan penguasa asing.
“Dari yang saya baca, hubungan Tibet dengan Tiongkok justru tetap tegang. Beijing (Pusat pemerintahan Tiongkok) mengobarkan perang perbatasan dengan Tibet untuk mendesak Tibet bergabung dengan Tiongkok dan mengklaim di seluruh dunia bahwa Tibet telah menjadi salah satu dari lima ras Tiongkok,” kata Furqan.
DPP PII juga menerima informasi jika Tiongkok saat ini telah mendirikan pangkalan militer besar di Tibet dan memaksa biksu agama Tibet yang cinta damai untuk meninggalkan Tibet lalu menghancurkan biara mereka.
Dalam pidato konferensi video terbarunya di PBB, klaim Furqan, Presiden Tiongkok Xi Jinping mengatakan bahwa mereka adalah negara terbesar di dunia dari segala sudut dan tidak berperang atau bahkan perang dingin dengan siapa pun dan tidak memiliki rancangan ekspansionis. DPP PII, kata Furqan, tidak percaya dan ingin negara-negara dunia turut bersikap.
"Jangan sampai dunia mengalami bencana alam gegara eksploitasi bumi Tibet secara ugal-ugalan oleh Tiongkok, dan perang dunia akibat ekspansi Beijing yang kian meluas usai mencaplok Tibet,” pungkas Furqan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News