Para pengunjuk rasa berdalih eksplorasi atau eksploitasi yang dilakukan perusahaan Tiongkok berdampak buruk terhadap lingkungan, satwa liar dan masyarakat lokal. Aksi unjuk rasa sudah berlangsung sejak Desember 2022 lalu.
Mereka sangat kecewa terhadap Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA), kelompok sayap bersenjata dari Organisasi Kemerdekaan Kachin (KIO) yang memberikan izin penambangan kepada perusahaan Tiongkok. Lokasi penambangan berada di Negara Bagian Kachin atau daerah perbatasan dengan provinsi Yunnan Tiongkok.
Merespons hal ini, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) meminta negara-negara dunia termasuk Indonesia untuk berhati-hati dan mewaspadai segala bentuk kerjasama yang berujung eksploitasi kekayaan alam negaranya dengan Tiongkok atau Beijing.
Menurut Peneliti Senior CENTRIS, AB Solissa, tidak sedikit kegiatan penambangan yang dilakukan pihak Tiongkok dilakukan secara serampangan dan berakibat buruk terhadap kerusakan lingkungan.
"Myanmar adalah contoh nyata dampak ‘kebrutalan’ Tiongkok saat mengeksploitasi tambang di luar wilayah Tiongkok. Bukan hanya penduduk, pemimpin-pemimpin gereja di Myanmar kami dengar dari berbagai media juga menentang penambangan unsur-unsur tanah jarang yang ‘ugal-ugalan’ oleh Beijing,” kata AB Solissa dalam keterangannya kepada wartawan, Kamis, 27 April 2023.
Dalam sebuah surat yang ditandatangani Uskup setempat bernama Raymond Sumlut Gam dan empat pemimpin keuskupan lainnya, termasuk vikaris jenderal dan dewan keuskupan, pada 4 Maret lalu, lanjut AB Solissa, menegaskan masyarakat setempat memiliki tanggung jawab untuk menjaganya lantaran mineral Tanah Jarang adalah anugerah dari Tuhan.
Para pemimpin gereja juga menuliskan rasa keprihatinan dengan dampak degradasi lingkungan, mata pencaharian masyarakat lokal dan kesejahteraan hewan akibat ekstraksi Tanah Jarang.
Negara Bagian Kachin diketahui kaya akan sumber daya alam seperti emas, batu giok, amber, dan rubi. Pengelolaan kekayaan alam ini kerap memicu konflik selama puluhan tahun antara militer dan Tentara Kemerdekaan Kachin.
“Disinyalir eksploitasi ugal-ugalan yang diduga dilakukan Beijing karena permintaan mineral Tanah Jarang dapat melonjak 3 hingga 7 kali lebih tinggi pada tahun 2040, untuk mengejar tenggat waktu kebijakan untuk memperlambat perubahan iklim,” ungkap AB Solissa.
Penambangan terkonsentrasi di daerah khusus Kachin, yang berada di bawah kendali panglima perang lokal Akhung Ting Ying. Wilayah ini kaya akan keanekaragaman hayati dan rumah bagi tumbuhan dan hewan langka yang kini terancam punah.
Awalnya hanya ada segelintir penambangan Tanah Jarang di Negara Bagian Kachin tahun 2016 yang didominasi oleh perusahaan asal Beijing.
Akan tetapi menurut laporan Global Witness Report, pada Maret 2022, jumlah penambangan membengkak menjadi 2.700 dan tersebar di 300 lokasi terpisah, meliputi area seluas Singapura.
Tanah Jarang mengandung unsur-unsur yang banyak digunakan dalam produk seperti komponen komputer, kendaraan listrik, sel surya, dan gudang persenjataan modern.
Tambang Myanmar menghasilkan jumlah terbesar keempat dari mineral ini, yaitu 12.000 metrik ton (MT) tanah jarang pada tahun 2022, menurut Investing News.
“Info dari VOA Burma, sebuah komite yang mewakili penduduk desa dari distrik N Ba Pa dan Dingsing Pa yang dikuasai KIO di distrik Bamaw Negara Bagian Kachin, telah bertemu dengan Ketua Jenderal KIO N Ban La, untuk menghentikan seluruh kegiatan tambang tanah jarang,” lanjut AB Solissa.
Sumber-sumber lokal mengatakan kepada VOA Burma bahwa N Ban La, yang memberikan hak penambangan kepada perusahaan Tiongkok, berjanji tidak akan membiarkan penambangan berlanjut.
Investing News melaporkan bahwasanya Tiongkok adalah produsen mineral Tanah Jarang terbesar di dunia, dengan output 210.000 MT jauh melebihi total gabungan tempat kedua Amerika Serikat (43.000 MT), tempat ketiga Australia (18.000 MT), Myanmar (12.000 MT) dan tempat kelima Thailand (7.100 MT).
Dari data resourcetrade.eart, sebuah situs web yang berafiliasi dengan think tank Inggris Chatham House, dapat diketahui jika sebagian besar mineral Tanah Jarang Myanmar diekspor ke Tiongkok.
“Yang pasti, menurut laporan dan penelitian Harvard International Review, hanya ada dua cara untuk menambang mineral Tanah Jarang dan keduanya berbahaya bagi lingkungan, mencemari air tanah dan tanah lapisan atas sekaligus menghasilkan debu beracun,” tutur AB Solissa.
“Apalagi dua hal tersebut dilakukan dengan cara ‘ugal-ugalan’ seperti yang diduga diterapkan oleh perusahan tambang Beijing,” pungkas AB Solissa.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news medcom.id
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News