Yangon: Setidaknya sekitar 6.700 warga etnis Rohingya terbunuh dalam bulan pertama kekerasan di Rakhine, Myanmar. Hal tersebut disampaikan dalam laporan Doctors Without Borders (Médecins Sans Frontières/MSF).
Angkat tersebut merupakan yang tertinggi dilaporkan sejak kekerasan itu diawali pada 25 Agustus 2017. Aksi kekerasan juga memicu hingga 620 ribu warga Rakhine mengungsi dari Myanmar ke Bangladesh selama tiga bulan berikutnya.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Amerika Serikat (AS) menilai operasi militer yang dilakukan oleh Myanmar merupakan bentuk pembersihan etnis. Myanmar sendiri membantah tuduhan tersebut dan menyebutkan operasi dilakukan untuk memburu militan Rohingya yang menyerang polisi pos perbatasan Myanmar.
"Setidaknya 6.700 warga Rohingya tewas,-berdasarkan perkiraan sementara,- termasuk diantaranya 730 anak-anak di bawah usia 5 tahun," pernyataan MSF, seperti dikutip AFP, Kamis 14 Desember 2017.
Pihak MSF mendapatkan angka tersebut berdasarkan enam survei yang dilakukan terhadap 11.426 warga Rohingya yang berada di tempat pengungsian.
"Kami bertemu dan berbicara dengan mereka yang selamat dari aksi kekerasan di Myanmar. Mereka berlindung di tempat penampungan seadanya di Bangladesh," turut Direktur Medis MSF, Sidney Wong.
"Apa yang telah kami sangat mengejutkan, baik dalam jumlah angka orang yang melaporkan anggota keluarga tewas dan cara dari mereka mereka dibunuh," imbuh Wong.
Dalam beberapa wawancara, pengungsi Rohingya memaparkan keterangan yang sama dan konsisten. Mereka menyebutkan bahwa pihak berwenang dan warga Rakhine yang beragama Budha mengusir mereka keluar dari rumah disertai penembakan, pemerkosaan dan membakar rumah-rumah di desa hingga hancur.
Pada awal Desember, Direktur HAM PBB Zeid Ra'ad Al Hussein mengatakan, operasi militer juga menunjukkan elemen genosida. Tetapi apa yang dikeluarkan oleh survei dari MSF sangatlah mengerikan.
Berdasarkan survei itu, hingga 69 persen korban tewas dalam kekerasan di Rakhine disebabkan oleh luka tembak. Sementara sembilan persen lainnya dikarena warga dibakar hidup-hidup di dalam rumahnya. Sementara lima persen lainnya karena dipukuli.
Survei juga menunjukkan bahwa anak-anak di bawah usia lima tahun, 60 persen dari mereka tewas akibat luka tembak.
Menyusul keluarnya laporan ini tidak ada tanggapan dari pihak Myanmar. Namun yang jelas etnis menjadi incaran dari kekerasan itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News