medcom.id, Jakarta: Selama tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla, memperlihatkan perubahan dalam kebijakan luar negeri. Meskipun panduannya masih sama, ada perubahan rasa dalam pemerintahan Jokowi.
Di masa pemerintahan terdahulu, kebijakan luar negeri RI lebih banyak proaktif. Tetapi kini, pemerintahan saat ini menekankan kebijakan luar negeri yang down to earth dan berorientasi pada hasil langsung.
Sejak 20 Oktober 2014 Jokowi memimpin, diplomasi ekonomi menjadi perhatian utama. Isu-isu yang bersifat makro, tidak terlalu menarik perhatian.
"Memang kalo kita lihat dari segi economic diplomacy, cukup memberikan hasil. Tiga tahun ini kan kita lihat delegasi dagang dari berbagai negara, datang ke sini dengan janji-janji investasi," ujar Peneliti Bidang Perkembangan Politik Internasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dewi Fortuna Anwar, kepada Metrotvnews.com, Jumat, 20 Oktober 2017.
Tetapi menurut Dewi Fortuna, penekanannya lebih kepada hubungan bilateral. Dalam hal ini termasuk kunjungan Presiden Jokowi ke Tiongkok, India dan Timur Tengah, boleh Dikatakan cukup menggembirakan.
"Tetapi di lain pihak, Indonesia ini dianggap negara besar, negara terbesar di ASEAN dan dianggap sebagai pemimpin di dalam ASEAN, natural leader di Asean. Asia tenggara ini menghadapi banyak tekanan dari kebijakan geopolitik dari negara besar," jelasnya.
"Ada persaingan Tiongkok dan AS di sini, Tiongkok yang semakin atraktif. Persatuan ASEAN ini menjadi taruhannya. Di sini banyak yang mengkritik, bahwa ASEAN sekarang ini tampak bahwa tidak ada pemimpin yang jelas," imbuhnya.
Kondisi saat ini seperti dianggap tidak koheren, ASEAN saat ini lebih rentan terhadap dari luar. Anggapan bahwa Indonesia kurang mampu memberikan peranan kepemimpinan dinilai jelas. "Itu banyak sekali suara-suara yang menyatakan itu. Indonesia juga disebut seolah-seolah kurang peduli pada isu2 yang di luar imediate gains. Dulu Indonesia dianggap champions yang membicarakan demokrasi dan HAM. Sekarang Indonesia tidak terlalu banyak berbicara soal itu di lingkungan regional," menurutnya.
Tetapi dari sisi Kementerian Luar Negeri RI, masih jelas terlihat komitmen terhadap ASEAN. Indonesia pun tampak masih memainkan peran, seperti dalam isu Rakhine. Hal serupa juga tampak saat Menlu Retno Marsudi berkunjung ke Iran dan Arab Saudi, ketika kedua negara terlibat masalah.
"Jadi saya kurang sepakat juga kalau ada yang mengatakan Indonesia hanya peduli pada hal-hal yang bersifat bisa membawa keuntungan ekonomi saja. Cuma itu tadi, karena Presiden sendiri memperlihatkan ketidaktertarikannya kepada isu-isu luar negeri," imbuh Dewi Fortuna.
Selama tiga tahun terakhir, Wapres Jusuf Kalla lebih banyak hadir dalam Sidang Majelis Umum PBB. Meskipun Wapres memiliki kompetensi dan kredibilitas juga untuk berperan di ranah internasional. Tetapi tetap saja menurut Dewi, pandangan orang bahwa kalau Presiden kurang memberikan perhatian, berarti negara secara keseluruhan kurang memberikan perhatian pula. "Kesan itu tetap ada," tegasnya.
Peran di ASEAN
Berdasarkan pandangan dari Dewi Fortuna Anwar, kiprah Indonesia di ASEAN saat ini bisa menimbulkan keragu-raguan. Walaupun Indonesia tetap mengatakan ASEAN itu soko guru, tetapi kepemimpinan Indonesia dianggap kurang dirasakan.
Sosok Tiongkok yang muncul bisa menjadi ancaman serius terhadap persatuan ASEAN, terutama di Laut China Selatan.
"Dalam hal ini orang melihat ke Indonesia. Apakah Indonesia bisa menggiring Asean ini betul-betul kuat. Karena seperti Filipina yang menjadi ketua. tetapi orang tidak berharap banyak terhadap keketuaan Duterte di dalam memimpin ASEAN. Chairmanship of ASEAN kan tidak sama dengan leadership in ASEAN," pungkasnya.
"Saya melihat memang beliau (Presiden Jokowi) memiliki komitmen untuk memastikan bawah kebijakan luar negeri itu memberikan manfaat langsung kepada rakyat, terutama dalam bidang ekonomi. Ini memang penting sekali, setiap pemimpin itu tentu harus memikirkan kesejahteraan rakyatnya," jelas Dewi Fortuna.
Tetapi ada satu hal yang penting harus diperhatikan. Sebagai sebagai negara besar, negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, negara mayoritas muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki tanggungjawab.
"Jadi tidak hanya Indonesia mengatakan,'Apa untuk saya?'. Jadi kebijakan luar negeri itu tidak bisa cash on delivery, terlalu transaksional," menurutnya.
"Kita memiliki tanggung jawab terhadap keamanan kawasan kita. Kita tidak bisa membiarkan orang lain yang memimpin kawasan kita," pungkasnya.
"Sebab kalau Indonesia tidak menunjukkan kepemimpinjan di ASEAN, maka kekuatan luar akan melakukan kepemimpinan. Itu sebabnya Indonesia selama ini menunjukkan kepemimpinan dan kepedulian terhadap ASEAN," katanya.
Dengan adanya kepemimpinan Indonesia di ASEAN, diharapkan tidak akan ada kegamangan di kawasan. Persatuan di Kawasan menjadi yang sangat penting untuk menjaga perdamaian dan keamanan di Asia Tenggara dan Asia pada umumnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News