"Tidak ada yang suka pergi ke hutan. Banyak binatang liar, penculikan, pemerkosaan. Tapi kami butuh kayu bakar," kata anak yang tak mau disebutkan namanya kepada Asian Correspondent, Selasa 27 Februari 2018.
Organisasi bernama Save the Children's Childhood Interrupted melaporkan sekitar 200 dari 380 ribu anak-anak telah tinggal di perbatasan Bangladesh-Myanmar sejak kekerasan komunal pada Agustus 2017 lalu.
Ketakutan yang berbeda pun menimpa anak-anak itu. Mulai dari binatang liar yang sering muncul seperti gajah dan ular, sampai penculikan yang berujung pada perdagangan manusia.
Ketika malam hari, mereka pun takut untuk pergi ke toilet umum untuk buang air karena kurangnya penerangan di lingkungan tersebut.
"Kami merasa tidak aman berjalan di dalam gelap menuju toilet umum. Toilet jauh dari kamp. Tidak ada cahaya di malam hari," ucap seorang remaja.
Terlebih, ia mengatakan bahwa banyak pria yang duduk dan berkumpul di sekitar toilet. Hal itu pula yang membuat anak dan remaja perempuan enggan pergi ke toilet umum pada malam hari.
Tetapi, memasuki hutan untuk mencari kayu adalah tugas dari anak laki-laki keluarga Rohingya. Jika mereka tak memiliki anak laki-laki, mereka terpaksa menyuruh anak perempuan mereka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News