Ketegangan dan kecurigaan ini berkaitan dengan rivalitas antar negara, terutama pemain-pemain besar global.
Rivalitas antar negara sebenarnya merupakan sesuatu yang positif. Namun di tengah Hot Peace ini, persaingannya lebih condong berbasis zero sum game.
"Zero sum game dapat diartikan sebagai sikap, 'jika saya menang, maka Anda harus kalah,'" sebut pendiri Foreign Policy Community Indonesia (FPCI), Dino Patti Djalal, saat membuka kegiatan Conference on Indonesia Foreign Policy (CIFP) 2019, di The Kasablanka, Jakarta, Sabtu 30 November 2019.
"Kita harus mendorong kompetisi yang positif, bukan persaingan strategis," sambung dia.
Sementara itu di tengah kondisi Hot Peace seperti ini, organisasi ASEAN didorong untuk mengambil posisi dan berperan aktif.
"Bukan hanya sentralitas ASEAN, tapi juga ASEAN yang fleksibel," tutur Dino.
Fleksibel yang dimaksud adalah mampu memposisikan diri dalam menghadapi beragam isu. Dino menyebut ada kalanya mungkin ASEAN akan lebih condong ke Amerika Serikat dalam suatu isu, atau ke negara lain dalam isu berbeda. "Namun harus tetap menjaga otoritas moral kita," sebut Dino.
Berbeda dengan saat Perang Dingin, Indonesia memiliki lebih banyak nilai tawar sebagai kekuatan menengah (middle power) di era Hot Peace. "Kita bukan lagi dijadikan target seperti dulu. Banyak negara ingin menjadi sahabat kita," terang Dino.
"Kita tidak punya waktu untuk Hot Peace. Kita punya banyak agenda mendesak lainnya seperti perubahan iklim, ketidaksetaraan, terorisme, SDGs, middle income trap dan lain-lain. Sangatlah penting kita menyelesaikan isu-isu tersebut," pungkasnya.
Berbagai tokoh terkemuka hadir dalam kegiatan ini, antara lain Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Wakil Menlu Mahendra Siregar, Menteri Koordinator Ekonomi Airlangga Hartarto. Bahkan, beberapa tokoh dunia seperti penerima nobel Jose Ramos Horta, juga mantan Menlu Australia Stephen Smith juga hadir dalam kegiatan ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News