Lotay Tshering, Perdana Menteri Bhutan yang juga dokter bedah. (Foto: AFP).
Lotay Tshering, Perdana Menteri Bhutan yang juga dokter bedah. (Foto: AFP).

Perdana Menteri Bhutan Menikmati jadi Dokter Tiap Akhir Pekan

Arpan Rahman • 10 Mei 2019 05:09
Thimphu: Pada takhir pekan di Bhutan dan Lotay Tshering baru saja menyelesaikan operasi perbaikan kandung kemih pada seorang pasien di Rumah Sakit Rujukan Nasional Jigme Dorji Wangchuck.
 
Tapi Tshering bukan dokter biasa. Selama pekan itu, ia juga kebetulan menjadi perdana menteri di kerajaan Himalaya yang terkenal karena ukuran Kebahagiaan Nasional warganya.
 
"Bagi saya ini mengurangi stres," kata Tshering, yang terpilih sebagai perdana menteri negara dengan penduduk 750.000 jiwa tahun lalu. Pemilihan umum demokratis ketiga sejak berakhirnya monarki absolut pada 2008.

"Beberapa orang bermain golf, beberapa memanah, dan saya suka melakukan operasi. Saya hanya menghabiskan akhir pekan saya di sini," kata pria berusia 50 tahun itu kepada AFP.
 
Tak seorang pun di rumah sakit yang memiliki kelopak mata seperti Tshering, mengenakan jas lab, berjalan melalui koridor yang sibuk. Perawat dan petugas rumah sakit melanjutkan pekerjaan mereka seperti biasa.
 
Kasus terpisah
 
Dalam banyak hal, kerajaan Budha terpencil, mengukur dirinya dengan kebahagiaan alih-alih pertumbuhan ekonomi.
 
Salah satu pilar Kebahagiaan Nasional Bruto adalah pelestarian lingkungan. Bhutan adalah kawasan karbon negatif dan konstitusinya mengamanatkan bahwa 60 persen dari negara itu tetap berhutan. Ini juga pasar besar untuk ekowisata dan membebankan biaya harian USD250 per pengunjung di musim ramai.
 
Ibu kota Thimphu tidak memiliki lampu lalu lintas, penjualan tembakau dilarang, dan televisi hanya diizinkan pada tahun 1999.
 
Kompetisi panahan, dengan jumlah peserta lokal yang banyak, adalah kegemaran nasional. Lingga yang dilukis di rumah untuk mengusir kejahatan juga merupakan pemandangan umum.
 
Tetapi "Tanah Naga Guntur" juga memiliki masalah, di antaranya korupsi, kemiskinan pedesaan, pengangguran kaum muda, dan geng kriminal.
 
Tshering, yang terdidik di Bangladesh, Jepang, Australia, dan Amerika Serikat, memulai karir politiknya pada 2013, tetapi partainya gagal membuat kemajuan dalam pemilu tahun itu.
 
Setelah kalah, Raja Jigme Khesar Namgyel Wangchuck memerintahkannya untuk memimpin tim dokter dan melakukan perjalanan dengan rombongan raja ke desa-desa yang jauh untuk memberikan perawatan medis gratis.
 
Sekarang sebagai perdana menteri, dia menghabiskan hari Sabtu merawat pasien yang dirujuk padanya dan Kamis pagi menawarkan saran medis kepada peserta pelatihan dan dokter. Hari Minggu adalah waktu keluarga.
 
Kembali di kantor perdana menteri, jas lab menggantung di belakang kursinya. Ini, katanya, berfungsi sebagai pengingat janji pemilunya untuk fokus pada perawatan kesehatan.
 
Pasien tidak harus membayar langsung untuk perawatan kesehatan di Bhutan, tetapi Tshering mengatakan bahwa masih banyak yang harus dilakukan meskipun ada langkah-langkah penting dalam perawatan medis.
 
Sementara negara ini telah melihat peningkatan besar dalam harapan hidup, penurunan angka kematian bayi, dan terhapusnya banyak penyakit menular, jumlah penyakit gaya hidup -- termasuk alkoholisme dan diabetes -- terus meningkat.
 
"Kita sekarang harus perlahan-lahan lebih fokus pada perawatan kesehatan sekunder dan tersier," kata Tshering, disitir dari laman AFP, Jumat 10 Mei 2019.
 
Di bawah perawatan PM
 
Di rumah sakit, pasien Tshering, seorang pria berusia 40 tahun bernama Bumthap yang menjalani operasi perbaikan kandung kemih selama lima jam, mengatakan kepada AFP bahwa dia senang dengan hasilnya.
 
"Sekarang saya telah dioperasi oleh perdana menteri, yang dianggap sebagai salah satu dokter terbaik di negeri ini, saya merasa lebih lega," katanya.
 
Politik, kata perdana menteri, sangat mirip menjadi seorang dokter. "Di rumah sakit saya memindai dan merawat pasien. Di pemerintahan, saya memindai kebijakan kesehatan dan berusaha menjadikannya lebih baik," katanya.
 
"Saya akan terus melakukan ini sampai saya mati dan saya rindu tidak bisa berada di sini setiap hari," tambahnya.
 
Dan pada hari-hari ketika dia mengendarai mobilnya di sekitar ibu kota Thimphu -- alih-alih menggunakan sopir resminya -- dorongan yang terlalu akrab melingkupinya.
 
"Setiap kali saya pergi bekerja pada hari kerja, saya berharap saya bisa belok kiri menuju rumah sakit," pungkasnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FJR)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan