Dilansir dari laman Aljazeera, Kamis, 25 Juli 2019, ASPI mengatakan 'persiapan minimal' untuk kembalinya para pengungsi Rohingya terus berlanjut. Langkah ini juga diduga karena adanya tekanan internasional kepada pemerintah.
Desa Aung Zan di Negara Bagian Rakhine utara Myanmar terletak hanya beberapa kilometer dari perbatasan Bangladesh. Dulunya, wilayah ini merupakan rumah bagi komunitas kecil Rohingya.
Hampir seluruh bangunan di desa tersebut terbakar selama kekerasan yang memaksa lebih dari 745 ribu pengungsi ke Bangladesh pada 2017.
ASPI menuturkan sisa struktur bangunan di sana dihancurkan selama tiga bulan awal 2019. Sementara itu, pos keamanan di sana diperluas dan dibentengi.
Citra satelit ASPI antara Desember 2018 hingga Juni 2019 menunjukkan bahwa 40 persen desa yang dirusak selama krisis 2017, telah sepenuhnya dihancurkan untuk pembangunan kembali. Pemerintah Myanmar dinilai akan menargetkan 58 desa tambahan untuk dibongkar ulang.
Direktur Human Rights Watch di Australia, Elaine Pearson, mengatakan temuan ASPI ini sejalan dengan dokumentasi mereka mengenai akuisisi aktif pemerintah di tanah yang dihancurkan.
"Pengungsi Rohingya di Bangladesh telah menunjukkan kepada kami dokumentasi kepemilikan rumah dan tanah yang mereka tinggali sebelum melarikan diri pada Agustus 2017," kata dia.
Meski sudah ada pembangunan ulang, ASPI meragukan kredibilitas pengungsi untuk kembali ke rumah mereka. Mereka menambahkan kekhawatiran mengenai kondisi para pengungsi untuk bertahan hidup meningkat.
Lebih dari 700 ribu orang etnis Rohingya melarikan diri dari rumah mereka yang berada di Negara Bagian Rakhine. Para pengungsi kemudian menyeberang ke Bangladesh.
Warga etnis Rohingya ini kabur karena mendapat kekerasan dari militer Myanmar. Rumah mereka dilaporkan dibakar, sementara perempuan dan anak-anak diperkosa di sana.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News