Thailand akan menjalani proses referendum pada Minggu 7 Agustus (Foto: AFP)
Thailand akan menjalani proses referendum pada Minggu 7 Agustus (Foto: AFP)

Referendum Thailand dan Keinginan dari Rakyat

Fajar Nugraha • 05 Agustus 2016 13:51
medcom.id, Bangkok: Thailand pada Minggu 7 Agustus akan melaksanakan referendum konstitusi. Rakyat pun menantikan apa yang akan dihasilkan dalam referendum ini.
 
Selama 10 tahun terakhir, kekuasaan di Negeri Gajah Putih terus berganti. Antara pemerintah yang dipimpin atau terkait dengan miliuner Thaksin Shinawatra atau pemerintahan yang dipegang oleh pihak junta militer seperti saat ini.
 
Referendum Minggu mendatang, akan menjadi yang pertama bagi rakyat Thailand setelah para jenderal berkuasa pada 2014. Saat itu, Thailand yang kini dipimpin oleh Jenderal Prayuth chan ocha, merebut kekuasaan dari adik Thaksin yakni, Yingluck Shinawatra.
 
Tetapi ketertarikan rakyat atas referendum ini masih minim. Bahkan jutaan rakyta Thailand masih belum menerima rancangan konstitusi baru dan pihak junta pun mmelarang kampanye yang menyuarakan perlawanan atas dokumen tersebut.
 
Pihak militer sendiri menegaskan bahwa konstitusi baru ini akan mampu mengatasi korupsi politik dan membawa kestabilan setelah pertarungan politik yang terjadi selama beberapa tahun terakhir. Kritik pun menyebutkan bahwa pihak junta ingin menegaskan kekuasaan militer dari demokrasi.
 
Apapun hasil referendum ini, rakyat Thailand mengharapkan konstitusi tersebut akan bertahan lama. Seperti yang disampaikan oleh seorang penjual bunga di sebuah kuil di wilayah  Ratchaprasong, Bangkok. 
 
"Saya hanya ingin kedamaian tetap ada di negeri ini dan mendorong warga untuk membahas masalahnya tanpa da kekerasan," ujar Lakana Ponsin, seperti dikutip AFP, Jumat (5/8/2016).
 
Ponsin kerap menyaksikan secara langsung perpecahan menyakitkan yang terjadi, mulai dari aksi militer berdarah hingga serangan sampai pada protes warga yang melumpuhkan Bangkok saat itu.
 
"Sedih melihat apa yang terjadi di sini. Saya hanya ingin Thailand tetap damai, iklim ekonomi dan usaha tetap damai," pungkasnya.
 
Dekade yang hilang
 
Pada masa modern Thailand, rakyat sering melihat bagaimana demokrasi tersampingkan. Banyak warga yang tewas di jalan dan kebebasan berpendapat dikekang.
 
"Thailand saat ini sangat terpisah, ini kondisi terburuk yang pernah dialami dalam sejarah kami," tutur akademisi Thailand yang juga mantan diplomat, Pavin Chachavalpongpun.
 
"Tidak ada institusi yang netral dan dihormati oleh pihak yang berseteru," lanjutnya.
 
Kekacauan politik di Thailand dimulai pada 2006 lalu ketika militer melengserkan Thaksin,-yang akhirnya mengasingkan diri di luar negeri, demi menghindari penjara atas kasus korupsi- yang dianggapnya bermotifkan politik.
 
Referendum Thailand dan Keinginan dari Rakyat
Yingluck Shinawatra disambut pendukung (Foto: AFP)
 
 
Protes yang saling bergantian antara pendukung Thaksin dan pemerintah pun terjadi. Pada 2010, pendukung Thaksin yang menyebut dirinya "Kaos Merah" banyak yang ditembak di wilayah  Ratchaprasong oleh pihak militer. Satu tahun kemudian, Yingluck terpilih sebagai Perdana Menteri Thailand.
 
Namun pada 2013, protes kembali terjadi. Kali ini, para pendukung pemerintah yang menyebut dirinya sebagai "Kaus Kuning" melakukan protes dan berujung pada lengsernya Yingluck. Kudeta oleh militer yang terjadi pada Mei 2014 mengakhiri protes tersebut dan membuat militer kembali berkuasa. 
 
Perbedaan yang mendalam
 
Banyak pihak menyatakan bahwa krisis politik di Thailand dipicu oleh Raja Bhumibol Adulyadej yang sakit keras. Elit politik pun berlomba untuk meraih kekuasaan sebelum transisi terjadi di tubuh kerajaan.
 
Kebanyakan rakyat Thailand tidak mengenal monarki lainnya. Sementara Putra Mahkota Maha Vajiralongkorn dianggap tidak terlalu dihormati seperti halnya Adulyadej.
 
Referendum Thailand dan Keinginan dari Rakyat
Raja Bhumibol Adulyadej dalam kondisi sakit (Foto: AFP)
 
 
Tetapi pendukung pemerintah justru melihat konstitusi baru bisa memandu negeri ini memulai dari awal. 
 
"Banyak negara yang melewati banyak hal. Thailand termasuk dalam salah satu negara itu, ini hanyalah proses yang harus kami lalui," ujar pengkritik keluarga Shinawatra, Akanat Promphan.
 
Namun tidak sedikit pula yang mengatakan bahwa tujuan referendum ini hanya bertujuan untuk menjauhkan keluarga Shinawatra dari politik Thailand. Mereka juga mencurigai bahwa militer ingin memperkuat kekuasaannya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(FJR)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan