Dikutip dari AFP, Minggu 1 September 2019, pengunjuk rasa membakar sejumlah barikade, melemparkan bom molotov dan benda lainnya ke arah aparat dalam demonstrasi di Hong Kong yang telah memasuki pekan ke-13.
Otoritas Hong Kong telah melarang digelarnya aksi unjuk rasa akhir pekan ini dengan alasan keamanan. Jumat kemarin, polisi menangkap sejumlah aktivis pro-demokrasi dengan harapan rencana unjuk rasa dibatalkan.
Namun pada Sabtu petang, puluhan ribu orang turun ke jalanan Hong Kong dengan membawa payung, beberapa mengenakan pakaian hitam khas gerakan pro-demokrasi. Memasuki malam hari, kericuhan mulai melanda pusat komersial Hong Kong saat sekelompok pedemo melemparkan bom molotov dan batu ke arah polisi.
Asap hitam dari barikade yang terbakar memenuhi sejumlah ruas jalan di Hong Kong, bahkan ada yang dekat dengan markas besar kepolisian. Api berhasil dipadamkan petugas, dan demonstran bergerak ke arah area perbelanjaan di Causeway Bay.
Polisi -- beberapa dari mereka mengenakan pakaian biasa dan menyamar menjadi pengunjuk rasa -- melakukan sejumlah penangkapan sepanjang malam kemarin.
Ryan, seorang pedemo berusia 19 tahun, mengaku membutuhkan pertolongan pertama karena merasa telah terkena peluru karet petugas. "Saya butuh kompres es untuk luka ini," kata Ryan kepada AFP. "Tapi secara keseluruhan saya merasa baik-baik saja, dan akan terus berjuang," lanjutnya.
Video di media sosial memperlihatkan sekelompok orang -- diyakini sebagai demonstran -- ditangkap polisi di dalam sebuah gerbong kereta. Polisi kemudian mengonfirmasi telah melakukan penangkapan terhadap sejumlah "demonstran radikal" di dua stasiun kereta.
Gelombang protes terbaru di Hong Kong awalnya dipicu Rancangan Undang-Undang Ekstradisi, yang kini meluas menjadi aksi menegakkan demokrasi di seantero Hong Kong.
Hong Kong adalah bekas koloni Inggris, yang sudah dikembalikan ke Tiongkok pada 1997 di bawah sistem "Satu Negara, Dua Sistem." Sistem tersebut menjamin otonomi Hong Kong.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News