Dalam keterangan tertulis dari Migrant CARE, Sabtu 17 Maret 2018, disebutkan bahwa Datin Rozita Mohamad Ali hanya divonis denda 20 ribu Ringgit Malaysia atau setara Rp70,3 juta. Datin Rozita juga hanya perlu menunjukkan perilaku baik selama lima tahun tanpa harus menjalani hukuman penjara.
Vonis ringan ini tentu saja melukai rasa keadilan terhadap korban. Suyantik ditemukan dalam keadaan mengenaskan di selokan rumah majikan dengan luka-luka legam di sekujur tubuhnya.
Dalam berita acara pemeriksaan, Suyantik dilaporkan mengalami cedera serius di kedua belah mata, tangan dan kaki, pendarahan beku di kulit kepala dan mengalami patah tulang pada belikat kiri. Datin Rozita menganiaya Suyantik dengan menggunakan pisau, alat pel, payung, setrika dan gantungan baju.
Dari pemantauan atas proses peradilan ditemukan adanya kejanggalan berupa perubahan tuntutan/dakwaan. Dakwaan awal mengacu pada Sekyen 307 Kanun Keseksaan dengan ancaman hukuman maksimum 20 tahun.
Namun kemudian dakwaan itu diubah dengan mengacu pada Sekyen 324 dan 326 Kanun Keseksaan atas perbuatan kekerasan menimbulkan luka parah dengan ancaman hukuman penjara 3 tahun atau denda atau sebat (hukuman cambuk).
Perubahan tuntutan ini tentu menimbulkan kejanggalan karena memperlihatkan adanya upaya memperingan hukuman. Hal ini terbukti di vonis akhir, bahwa penganiaya keji Suyantik lolos dari penjara dan mendapatkan hukuman ringan.
Atas realitas tersebut, Migrant CARE menyatakan kecewa atas putusan yang tidak adil. Migrant CARE mendesak adanya proses investigasi menyeluruh atas sejumlah kejanggalan yang terkandung dalam putusan tersebut.
Hasil investigasi tersebut menjadi bahan pengajuan banding atas putusan yang tidak adil tersebut.
Migrant CARE juga mendesak Pemerintah Indonesia dan KBRI Kuala Lumpur agar benar-benar serius memonitor proses peradilan terhadap kasus-kasus yang dihadapi oleh buruh migran Indonesia dan menyediakan bantuan hukum/penasehat hukum yang kredibel serta memiliki perspektif perlindungan hak-hak buruh migran Indonesia.
Kronologi Kasus Suyantik
Tanggal 21 Desember 2016, sekitar pukul 12 siang, KBRI Kuala Lumpur memperoleh informasi mengenai penemuan seorang TKI dalam keadaan tidak sadarkan diri di dekat selokan di Jalan PJU 3/10 Mutiara Damansara. Setelah menerima laporan tersebut, KBRI segera merujuk yang bersangkutan ke Rumah Sakit Pusat Perubatan Universiti Malaysia (RS PPUM) untuk mendapatkan perawatan intensif.
KBRI juga telah melaporkan kejadian tersebut kepada Kepolisian Malaysia. Berdasarkan laporan tersebut, majikan pelaku penyiksaan telah ditahan Polisi DiRaja Malaysia (PDRM).
Dari hasil penelusuran KBRI, diketahui bahwa TKI korban penyiksaan bernama Suyantik binti Sutrino, umur 19 tahun, berasal dari Kisaran, Sumatera Utara. Saat dibawa ke Rumah Sakit, Suyanti dalam keadaan luka sekujur tubuhnya dan lebam kedua matanya karena penyiksaan. Selama berada di Rumah Sakit, Satgas Perlindungan WNI KBRI Kuala Lumpur terus memberikan pendampingan.
Berdasarkan informasi dari Suyantik, dirinya masuk ke Malaysia pada 7 Desember 2016 melalui Tanjung Balai-Port Klang. Sesampainya di Port Klang, yang bersangkutan dijemput seorang agen a.n. Ruby. Pada 8 Desember 2016, yang bersangkutan diantarkan ke rumah majikan, seorang wanita Melayu.
Seminggu setelah bekerja, majikan mulai melakukan penyiksaan fisik terhadap Suyantik. Puncaknya pada 21 Desember 2016, Suyantik melarikan diri setelah diancam dengan pisau besar oleh majikan perempuannya.
Pada 25 Desember 2016, Suyantik diizinkan meninggalkan Rumah Sakit dan ditampung di penampungan KBRI. Untuk beberapa waktu ke depan, Suyantik masih harus menjalani rawat jalan. Suyantik sudah berkesempatan berbicara dengan keluarganya di Medan melalui telepon.
Di hari yang sama, diperoleh informasi pelaku telah dibebaskan dengan jaminan.
KBRI telah mengirimkan nota kepada Kemenlu Malaysia guna menyampaikan protes serta keprihatinan mendalam atas kejadian tersebut, sekaligus meminta agar pelaku diberikan hukuman setimpal sesuai hukum Malaysia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News