Kashgar: Sedikitnya 120.000 anggota minoritas Muslim Uighur Tiongkok ditahan pada "kamp pendidikan ulang" politik yang dibangun sejak era Mao. Kamp terletak sepanjang perbatasan barat negara itu, sebuah laporan mengklaim.
Wartawan Radio Free Asia (RFA), kelompok berita didukung oleh Amerika Serikat (AS), sudah menghasilkan beberapa laporan paling rinci mengenai wilayah keamanan ketat di Xinjiang.
RFA melaporkan bahwa mereka memperoleh angka tersebut dari seorang pejabat keamanan di Kashgar, kota Tiongkok di barat perbatasan, yang menjadi fokus tindakan keras besar-besaran.
Tahun lalu, saat Xi Jinping dinobatkan sebagai pemimpin Tiongkok yang paling berkuasa sejak Ketua Mao di sebuah kongres di Beijing, pusat pendidikan ulang Xinjiang 'dibanjiri' oleh tahanan, yang dipaksa untuk menanggung kondisi yang sempit dan jorok, menurut laporan tersebut. Tepat di kota Kashgar, berpenduduk sekitar setengah juta jiwa, puluhan ribu orang diduga terkurung.
Mempertimbangkan wilayah yang lebih luas di sekitar Kashgar, jumlah tersebut diperkirakan meningkat jadi 120.000.
Maya Wang, juru kampanye Human Rights Watch (HRW) yang menulis laporan baru-baru ini mengenai tentang kamp-kamp tersebut, berkata bahwa angka-angka yang dikutip oleh RFA dapat dipercaya. Kendati tingkat penindasan yang meningkat di Xinjiang berarti angka yang pasti tidak mungkin dikumpulkan. Perkiraan jumlah orang yang menghabiskan waktu di pusat-pusat tersebut di Xinjiang, yang berpenduduk sekitar 22 juta, mencapai 800.000, Wang menambahkan.
"Ini seperti lubang hitam yang dipenuhi orang dan tidak bisa keluar dari sana," ujar Wang.
Kashgar, kota terbesar di Xinjiang selatan, hidup di tengah badai keamanan yang berkembang pesat sejak pemimpin partai garis keras, Chen Quanguo, mengambil alih wilayah tersebut pada musim panas 2016.
Seorang ahli Xinjiang terkemuka mengatakan kepada media Kanada, Globe and Mail, Kamis 25 Januari 2018, bahwa kamp tersebut "merupakan bentuk penghilangan paksa dengan cara yang sangat teratur".
Tiongkok membela apa yang oleh pihak berwenang disebut sekolah "pemberantasan ekstremisme" sebagai bagian penting dari perjuangan melawan radikal yang disalahkan atas gelombang serangan.
Menurut laporan HRW, pusat-pusat tersebut sering ditempatkan di gedung-gedung pemerintah yang dikonversi seperti sekolah atau fasilitas khusus. Wang mengatakan bahwa tahanan sering ditahan, tidak sah, dan tanpa tuduhan, sebagai akibat dari 'pelanggaran' agama seperti tindakan berdoa atau non-religius yang berlebihan seperti mengakses situs-situs terlarang.
"Ini adalah represi yang ekstrem dan belum sepenuhnya lenyap," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News