Dilansir dari CGTN, Minggu 10 November 2019, korban meliputi dua orang yang tewas dalam bentrokan antara demonstran dan aparat keamanan di kota Basra. Sekitar 100 orang juga terluka setelah polisi menembakkan gas air mata dan peluru tajam di Basra, kota yang berjarak sekitar 450 kilometer dari Baghdad.
Gelombang protes di Irak dipicu kemarahan warga atas minimnya lapangan pekerjaan, korupsi di jajaran pemerintah dan buruknya layanan publik, seperti listrik dan air bersih.
Banyak demonstran menyalahkan Pemerintah Irak atas buruknya perekonomian negara. Skala aksi protes di Irak ini disebut-sebut sebagai yang terbesar sejak tumbangnya mantan presiden Saddam Hussein di tahun 2003.
Para pengunjuk rasa menyerukan diadakannya pemilihan umum dini dan mendesak agar pemerintahan Irak saat ini membubarkan diri. Perdana Menteri Irak Adel Abdul Mahdi telah sepakat untuk mundur pada 31 Oktober lalu.
Dalam sebuah pidato di saluran televisi Al-Iraqiya TV, Presiden Barham Salih mengatakan PM Mahdi telah sepakat untuk mundur, namun dengan syarat ada tokoh yang siap menggantikannya.
"Perdana Menteri sudah sepakat untuk mundur. Abdul Mahdi telah meminta partai-partai politik untuk menyiapkan alternatif demi mencegah kevakuman kekuasaan," sebut Salih.
Otoritas Irak mengaku hanya menggunakan peluru tajam jika diserang di tengah aksi protes. Namun banyak demonstrator membantah hal tersebut, dan mengatakan bahwa aparat keamanan Irak bertindak berlebihan dalam mengendalikan massa.
Sementara itu, aksi protes diperburuk adanya serangan 17 roket yang menghantam area dekat sebuah pangkalan udara Irak yang menampung pasukan Amerika Serikat.
Pasukan Bersenjata Irak mengatakan insiden terjadi dekat sebuah instalasi militer di kota Qayyarah, provinsi Nineveh. Hingga saat ini belum ada pihak yang mengklaim bertanggung jawab atas serangan 17 roket tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News