"Dari laporan berbagai media massa, salah satunya Tibet Press, jelas sekali pelanggaraan berat HAM yang dilakukan Tiongkok terhadap orang-orang Tibet. Ini harus segera dihentikan,” kata Direktur Eksekutif Centris AB Solissa dalam keterangannya kepada wartawan, Selasa 14 Februari 2023.
Solissa menjelaskan penindasan ini sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu. Otoritas setempat diketahui melakukan beragam penindasan terhadap Masyarakat Tibet, seperti persekusi, penganiayaan, pelecehan dan penyiksaan.
Tibet Press dalam laporannya menyebutkan, otoritas setempat menyalahgunakan kebijakan "nol-Covid" yang sempat berlaku selama tiga tahun. Kebijakan ini menjadi alat represi yang semakin kuat untuk melakukan kontrol dan pengawasan yang ketat terhadap masyarakat Tibet.
Dari data dan catatan sejarah yang dihimpun Centris, diketahui Tibet tidak pernah menjadi bagian dari Tiongkok sebelum Republik Rakyat Tiongkok (RRC) menyerbu wilayah Himalaya pada tahun 1950 (menurut catatan resmi pra-1949).
Data ini diperoleh dari salah satu hasil proyek penelitian sejarah kolaboratif multi-tahun yang diterbitkan baru-baru ini, dan temuan proyek tersebut dipresentasikan di Komisi Eksekutif-Kongres AS di Tiongkok beberapa waktu lalu.
Bahkan Centris juga mengutip pendapat seorang profesor di Universitas Kota Hong Kong, Hon Shiang Lau. AB Solissa mengatakan dalam kesaksian Profesor Hon di hadapan Komisi Eksekutif-Kongres Amerika Serikat di Tiongkok, menyajikan peta dari dinasti Ming dan Qing untuk membuktikan bahwa Tibet tidak pernah menjadi bagian dari kerajaan Tiongkok.
“Jika melihat peta tersebut, jelas klaim untuk menyatukan Tiongkok dengan mencaplok Tibet tidak berdasar dan memiliki argumen yang kuat,” terang AB Solissa.
Pula dikutip Centris dari Profesor Hukum Internasional dan Ketua Eksekutif Kreddha, Michael Van Walt Van Praag. Profesor ini menyatakan dengan jelas bahwa Tibet secara historis bukanlah bagian dari Tiongkok dan menyangkal klaim Beijing atas Tibet sejak zaman kuno, tidak benar.
Profesor Praag melanjutkan bahwa komunitas internasional termasuk Amerika Serikat telah salah mengambil pandangan karena percaya jika konflik Tiongkok-Tibet adalah urusan dalam negeri setempat. Praag menjelaskan dalam hukum internasional, konflik Tiongkok-Tibet adalah bentuk invasi Beijing terhadap Tibet pada tahun 1950.
“Ini semakin memperjelas batasan-batasan yang seyogianya dipahami Tiongkok. Jadi, jangan pernah membiarkan Tiongkok sewenang-wenang dengan orang-orang Tibet,” tutur AB Solissa.
Centris menilai wajar jika banyak pihak yang berasumsi berbagai aksi pelanggaran HAM yang dilakukan Beijing tersebut, memiliki tujuan yang sama dengan apa yang Tiongkok lakukan terhadap etnis Uighur di Xinjiang. Etnis Uighur sendiri adalah kumpulan muslim minoritas ras Turki yang berasa diwilyah Xinjian, yang saat ini juga tengah mengalami berbagai bentuk tindak kekerasan.
Negara-negara dunia terutama Amerika Serikat mempercayai perlakuan dan berbagai tindakan kekerasan Beijing tersebut, menjurus pada aksi genosida jutaan muslim Uighur di Xinjiang Tiongkok.
“Banyak yang menilai aksi bengis Beijing ini sebagai upaya untuk menghapus identitas Tibet dan menggantinya dengan identitas Tiongkok, seperti yang mereka lakukan kepada etnis Uighur. Wajar saja,” pungkas AB Solissa.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News