Dalam Sidang Komisi PBB untuk Status Perempuan, Comission on the Status of Women ke-60 (CSW) pekan ini di New York, Amerika Serikat (AS). Puluhan negara dunia melalui para delegasinya menyatakan keprihatinannya terhadap kasus kekerasan perempuan yang dipicu pernikahan dini pada anak dibawah umur.
Sidang yang dihadiri lebih dari 8.000 peserta dari perwakilan prrempuan dunia termasuk Indonesia menyuarakan bentuk kekerasan yang terjadi saat ini sudah semakin modern. Banyak kekerasan yang "terlindungi" jubah hukum dan adat istiadat. Hal ini menyangkut longgarnya celah pernikahan anak-anak dibawah umur.
Salah satu perwakilan delegasi RI Komisioner Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah menilai peraturan terkait pernikahan yang tercantum dalam Undang-Undang no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan perlu diubah karena masih mencerminkan diskriminasi terhadap perempuan, khususnya terkait usia minimal yang diperbolehkan untuk menikah.
"Agreed conclusion dalam CSW ini nantinya harus memberikan penegasan penghapusan perkawinan anak dan mendorong inisiatif-inisiatif daerah melakukan terobosan pencegahan perkawinan anak. Dengan mendorong wajib belajar minimum SMA," ujar Yuni, dalam keterangan tertulis PTRI New York, yang diterima Metrotvnews.com, Kamis (17/3/2016).
"Institusi agama dan adatpun harus bekerja. Harusnya substansi hukum memberi keadilan bukan mengukuhkan diskriminasi dan kekerasan atas nama apapun", ungkap Yuni.
Yuni menegaskan bahwa UU Perkawinan ini justru membuat seolah-olah ada pembenaran adanya pernikahan dini bagi perempuan. Hal ini dianggap bentuk ketidakadilan mereka yang paling didiskriminasi karena usia minimal mereka.
Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2012, tercatat 32,10 persen anak menikah di usia 16 hingga 18 tahun. Sementara itu, sebanyak 11,13 persen anak perempuan menikah di usia 10 hingga 13 tahun.
Dalam pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan Tentang Usia Perkawinan, mengatur usia minimal perempuan untuk menikah adalah 16 tahun, sementara lelaki pada usia 19 tahun. UU ini dinilai sejumlah kalangan merugikan perempuan karena akan semakin kecil kesempatan perempuan untuk mendapat hak pendidikan lebih panjang.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise menyatakan meskipun gugatan menaikkan batas usia minimal untuk menikah bagi perempuan di Indonesia ditolak Mahkamah Konstitusi dalam sidang putusan uji materi Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, masih ada celah perlindungan bagi anak-anak yaitu wajib belajar 12 tahun. Artinya setiap anak berhak mendapatkan pendidikan hingga usia 18 tahun atau hingga bangku Sekolah Menengah Atas.
"Tidak ada kata menyerah untuk melindungi anak-anak kita. MK boleh menolak tapi banyak instrumen UU yang bisa dimanfaatkan untuk melindungi anak-anak khususnya dan perempuan dari jerat kekerasan yang dilindungi kelegalan hukum yaitu perkawinan dini itu sendiri," tutur Yohana Yembise di sela-sela sidang CSW ke-60 di markas besar PBB.
Yohana Yembise menegaskan diskriminasi perempuan dari jalur pembiaran pernikahan dini dapat memicu angka kemiskinan dan menghambat pembangunan. Padahal seharusnya tidak boleh ada seorangpun yang ditinggalkan atau dilupakan dalam Agenda Pembangunan atau SDGs 2030.
Oleh karena itu Indonesia mendorong tercapainya hasil konkret dalam CSW-60 dengan resolusi platform perlindungan perempuan di seluruh dunia.
Sebelumnya MK menolak gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, sehingga masih ada celah perlindungan bagi anak-anak yaitu wajib belajar 12 tahun.
Sensus nasional pada 2012 hasil kerja sama dengan Badan PBB urusan anak-anak (UNICEF) menunjukkan satu dari empat anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun, bahkan di sejumlah daerah anak perempuan berusia 15 tahun sudah menikah. Dari pernikahan dini tersebut, berdasarkan pengamatan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional dari data di Kantor Urusan Agama, jumlah perceraian mencapai 50 persen.
Namun, Majelis Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak ada jaminan bahwa jika batas usia minimal menikah dinaikkan angka perceraian akan berkurang. Lebih jauh, menurut MK, tidak ada aturan dalam agama Islam yang menjelaskan batas usia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News