Sembari mengibarkan bendera nasional, banyak pengunjuk rasa mendesak agar Pemerintah Irak mengundurkan diri dan parlemennya dibubarkan.
Dilansir dari Deutsche Welle, sekitar 350 orang terluka dalam bentrokan dalam aksi protes di Baghdad. Petugas keamanan menembakkan peluru karet dan juga granat gas untuk mengusir massa dari sejumlah jembatan menuju Zona Hijau -- kompleks gedung pemerintahan.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo pernah menyarankan agar Pemerintah Irak bersedia mendengarkan beragam "tuntutan" dari para pengunjuk rasa. Ia juga menilai bahwa investigasi mengenai penggunaan kekerasan oleh petugas terhadap pedemo di Irak "minim kredibilitas."
Sejak gelombang pertama aksi protes di Irak dimulai awal Oktober, sedikitnya 250 orang tewas dan 10 ribu lainnya terluka.
Selain menentang pemerintah, para pengunjuk rasa di Baghdad juga mengkritik keterlibatan Iran dalam urusan dalam negeri Irak. Sejumlah ulama di Irak memperingatkan sejumlah elemen asing agar tidak ikut campur dalam isu internal Baghdad.
Ulama aliran Syiah ternama, Ali al-Sistani, mengatakan bahwa Irak tidak seharusnya diseret ke dalam "jurang perang saudara."
"Tidak ada individu, grup atau aktor internasional manapun yang dapat merenggut keinginan warga Irak," tutur dia, merujuk pada Iran.
Gelombang unjuk rasa di Irak dimulai dari ketidakpuasan warga terhadap kurangnya lapangan pekerjaan, layanan publik yang buruk dan maraknya korupsi di pemerintahan. Namun aksi protes ini berkembang menjadi penentangan penuh terhadap sistem perpolitikan di Irak.
Hal unik dalam unjuk rasa ini adalah, demonstran tidak hanya mengarahkan kemarahan mereka kepada elite politik, namun juga para tokoh agama.
"Tidak ada satu pun yang mewakili perasaan rakyat. Bukan Iran, bukan partai-partai politik, dan juga bukan para ulama. Kami ingin merebut kembali negara kami," tegas Ali Ghazi, seorang pengunjuk rasa di Baghdad kepada kantor berita AFP pada Kamis 31 Oktober.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News