Komisioner PBB untuk Pengungsi, Filippo Grandi, mengunjungi kamp pengungsi Rohingya di Sittwe, Bangladesh. (Foto: AFP).
Komisioner PBB untuk Pengungsi, Filippo Grandi, mengunjungi kamp pengungsi Rohingya di Sittwe, Bangladesh. (Foto: AFP).

PBB Temukan Kegagalan Sistemik dalam Penanganan Rohingya

Marcheilla Ariesta • 18 Juni 2019 09:07
New York: Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menemukan 'kegagalan sistemik' dalam penanganan situasi di Myanmar. Temuan ini muncul setelah Sekretaris Jenderal Antonio Guterres memerintahkan peninjauan internal terhadap operasi badan dunia tersebut di Myanmar.
 
"Sementara ini akan sulit untuk menetapkan pihak yang bertanggung jawab atas kegagalan sistemik tersebut. Ada tanggung jawab bersama yang harus diselesaikan semua pihak terkait," kata laporan tersebut, dikutip oleh media AFP, Selasa, 18 Juni 2019.
 
Perintah Guterres pada Februari lalu dilakukan karena ada pejabat PBB di negara tersebut yang dituduh mengabaikan tanda-tanda peringatan serangan terhadap etnis Rohingya.

Beberapa kritik terhadap PBB telah berfokus pada tuduhan bahwa koordinator PBB di Myanmar saat itu, Renata Lok-Dessallien, meremehkan kekhawatiran mengenai memburuknya pelanggaran terhadap Rohingya. Dia dianggap lebih memprioritaskan kerja sama ekonomi dengan Pemerintah Myanmar.
 
PBB telah membantah klaim tersebut. Tetapi, laporan setebal 36 halaman yang ditulis diplomat veteran Guatemala Gert Rosenthal membuat negara-negara anggota PBB mengecam sistem di bawah pimpinan Guterres.
 
"Tidak ada strategi yang jelas dan terpadu, serta kurangnya analisis dari lapangan," ucap Rosenthal kala itu.
 
Guterres telah menerima laporan tersebut. Lewat juru bicara PBB, Stephane Dujarric, dia mengatakan menerima rekomendasi tersebut. "Dia (Guterres) berkomitmen untuk menerapkannya sehingga dapat meningkatkan kinerja sistem PBB," imbuh dia.
 
Saat ini, sekitar 740 ribu orang etnis Rohingya tinggal di kamp-kamp di Bangladesh. Mereka kabur dari wilayah tempat tinggalnya di Rakhine, Myanmar, usai kekerasan militer pada 2017. Banyak dari mereka melarikan diri ke Bangladesh.
 
PBB kala itu menyebut operasi Myanmar di Rakhine dapat dikategorikan sebagai pembersihan etnis. Karena tuduhan tersebut, pemerintah Myanmar menolak tim pemantau PBB untuk masuk ke Rakhine.
 
Proses repatriasi Rohingya dari Bangladesh ke Myanmar yang disebut-sebut akan dijalankan pada awal 2018, hingga saat ini belum menemukan titik terang. Kedua negara, Bangladesh dan Myanmar malah sempat saling tuduh karena belum siap melakukan repatriasi.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WIL)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan