Dengan pemindahan paksa tersebut, menyebabkan kosongnya etnis Rohingya di Rakhine. Peneliti Amnesty International di Myanmar, Elise Tillet melaporkan bahwa pada 2012 lalu, sebelum krisis kemanusiaan pertama kali di wilayah Rakhine, jumlah etnis Rohingya di sana berjumlah sekitar 80 persen.
"Sebelum krisis kemanusiaan, warga etnis Rohingya yang ada di wilayah Rakhine berjumlah 80 persen. Namun, saat ini, hampir tidak ada sama sekali," ujarnya dalam acara Laporan Amnesty International dalam Diskriminatif Sistem pada Rohingya, di Hotel Puri Denpasar, Jakarta, Selasa 21 November 2017.
Elise menyebutkan, sebenarnya masih ada warga etnis Rohingya yang menetap di ibu kota Rakhine, Sittwe, namun mereka semua tinggal di pengungsian.
Menurutnya hal ini disebut sistem apartheid atau diskriminasi ras. Hal tersebut dijelaskan dengan banyaknya peraturan yang dianggap merugikan ras lain, salah satunya Rohingya.
Peraturan diskriminatif tersebut berasal dari pemerintah Myanmar yang menganggap etnis Rohingya merupakan orang dari luar Myanmar yang tidak berhak hidup di sana.
"Banyak sekali peraturan diskriminatif yang diterapkan. Apa yang disebut sistem apartheid di sini adalah tindakan penuh dengan kekerasan, pembunuhan dan pemerkosaan," imbuh dia.
Investigasi ini dilakukan selama dua tahun terakhir. Pihak berwenang dianggap mendukung peraturan apartheid dengan membatasi semua aspek kehidupan warga Rohingya di Negara Bagian Rakhine.
Sebanyak 600 ribu warga Rohingya saat ini tinggal di kemah-kemah pengungsian Bangladesh. Sementara yang ada di Myanmar hanya sekitar 100 ribu.
Para warga Rohingya ini mengungsi karena desa mereka dibakar, sehingga mereka tak lagi memiliki tempat tinggal layak. Namun, meski mereka saat ini ditampung di kemah pengungsian, kondisinya tetap jauh dari layak.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News