Kelompok hak asasi manusia memperingatkan vonis bersalah akan menggunduli kredibilitas pemilu 2018.
Tuntutan yang diajukan pemerintah terhadap Partai Penyelamatan Nasional Kamboja (CNRP) secara luas dipandang sebagai upaya terakhir Hun Sen untuk mematikan persaingan menjelang pemilu, tahun depan.
Hun Sen, mantan perwira Khmer Merah yang telah menjabat selama 32 tahun, sudah berjanji akan menjatuhkan vonis bersalah, Kamis. Keputusan yang paling tidak dapat dielakkan dalam sistem peradilan keras di bawah tekanan perdana menteri tersebut.
Tuduhan terhadap CNRP -- berkomplot dengan agen asing buat menggalang revolusi -- dapat berdampak pada lebih dari seratus politisi dilarang berkiprah selama lima tahun.
Sekaligus menjadi pukulan telak bagi gerakan oposisi yang terpukul serangan hukum karena hampir mendongkel Hun Sen dalam pemilu nasional terakhir di tahun 2013.
Sejumlah polisi antihuru-hara dikerahkan di luar pengadilan Phnom Penh, Kamis pagi, saat persidangan dimulai. Kendati tidak ada tanda-tanda protes.
Pengacara pemerintah mengaku butuh waktu empat jam untuk menyampaikan kasus terakhir mereka kepada hakim.
Mu Sochua, politisi senior CNRP yang terasing ke luar negeri bulan lalu, mengatakan kepada AFP melalui pesan teks bahwa pembubaran partai tersebut akan menandai "akhir demokrasi sejati di Kamboja."
"Pemilu tahun 2018 tidak ada artinya tanpa CNRP," katanya, seperti disitat AFP, Kamis 16 November 2017.
Lebih dari separuh dari 55 anggota parlemen CNRP sudah melarikan diri dari negara tersebut dalam beberapa pekan terakhir. Mereka takut ditangkap setelah pemimpin mereka, Kem Sokha, dijebloskan ke penjara perbatasan terpencil karena tuduhan pengkhianatan.
Sementara itu, Pemerintah PM Hun Sen menyetujui amandemen hukum yang memungkinkan otoritas pemilu buat mendistribusikan kembali kursi atau pos lokal yang diduduki oleh anggota sebuah partai terlarang.
Pada malam sidang pengadilan, Human Rights Watch (HRW) yang berbasis di AS mendesak hakim menolak tekanan pemerintah untuk membubarkan partai yang dimusuhi tersebut.
"Meskipun Mahkamah Agung secara efektif merupakan organ partai yang berkuasa, tetap memiliki kesempatan bersejarah buat menunjukkan independensi dan menegakkan supremasi hukum," kata direktur HRW Asia, Brad Adams.
Lembaga pemantau itu memperingatkan bahwa Hun Sen sedang dalam perjalanan untuk mengubah negara menjadi "negara satu partai secara de facto".
Perdana menteri yang garang -- mantan pembelot dari Khmer Merah demi membantu rezim berkuasa -- mengaku sudah membawa perdamaian dan stabilitas yang sangat diperlukan ke sebuah negara miskin yang dilanda perang saudara selama puluhan tahun.
Namun para kritikus mengatakan bahwa korupsi endemik dan pelanggaran hak asasi telah berkembang di bawah kekuasaannya. Pemilu dan institusi demokratis lainnya tidak lebih dari sekadar pakaian seragam di bawah peraturan otoriternya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News