Kongres Gambut Internasional ke-15 di Kuching, Sarawak, Malaysia, 16 Agustus 2016. (Foto: MTVN/Willy Haryono)
Kongres Gambut Internasional ke-15 di Kuching, Sarawak, Malaysia, 16 Agustus 2016. (Foto: MTVN/Willy Haryono)

Penanaman Sawit di Lahan Gambut Berperan Besar Serap CO2

Willy Haryono • 16 Agustus 2016 14:53
medcom.id, Kuching: Menanam kelapa sawit di lahan gambut bukan hal terlarang. Pengalaman Negara Bagian Serawak Malaysia membuktikan, perkebunan kelapa sawit di lahan gambut bisa dikelola secara berkelanjutan dan memberi manfaat ekonomi yang sangat besar.
 
Hal ini ditegaskan Abdul Hamed Sepawi, Ketua Sarawak Oil Palm Plantation Owners Association, saat menjadi pembicara dalam 15th International Peat Congress (IPC) di Kuching Serawak Malaysia, Selasa (16/8/2016). Dalam presentasi yang berjudul "Menanam Kelapa Sawit di Lahan Gambut: Pengalaman, Tantangan, dan Peluang," Abdul Hamed Sepawi menegaskan tidak ada alasan bagi negara lain untuk takut menanam kelapa sawit di lahan gambut.
 
"Kelapa sawit adalah minyak nabati yang paling murah jika dibandingkan dengan minyak nabati lainnya," kata Sepawi di depan sekitar 1.000 peserta kongres gambut terbesar di dunia itu.

Pengembangan perkebunan kelapa sawit, kata Sepawi, juga berperan besar dalam menyerap gas karbondioksida (Co2) ke dalam bentuk karbon padat yang bisa dimanfaatkan sebagai biomassa, dan ini akan mendukung keberlanjutan dari minyak nabati yang dihasilkan. "Kami telah menjadi pelopor pengembangan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut," kata Sepawi.
 
Sepawi menjelaskan sejumlah isu dan tantangan yang dihadapi ketika kali pertama mengembangkan kelapa sawit di lahan gambut. Salah satu tantangan itu adalah bahwa kebun kelapa sawit tersebut harus memenuhi standar yang ditetapkan oleh MSPO (Malaysian Sustainable Palm Oil) dan kriteria keberlanjutan lainnya. 
 
"Tentu saja diperlukan teknik dan inovasi yang ilmiah untuk mengubah kondisi lahan gambut yang tidak kondusif menjadi sebuah areal untuk pengembangan budidaya, dalam hal ini perkebunan kelapa sawit," tutur Sepawi. 
 
Meski pada tahap awal sulit, namun dengan inovasi yang dilakukan, produktivitas tanaman kelapa sawit di lahan gambut Serawak bisa meningkat dari 12 ton tandan buah segar (TBS) per hektare per tahun, menjadi 30 ton per hektare per tahun. "Sekarang semua kerja keras yang kami lakukan membuahkan hasil yang sangat baik. Dan Serawak menjadi contoh sukses pengembangan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut," ucap pria yang juga menjadi salah satu pimpinan di Ta Ann Holding Berhad.
 
Namun, ketika secara teknis ilmiah pengembangan sawit di lahan gambut sukses, tantangan lain datang. "Tantangan baru itu adalah maraknya kritik dan serangan dari sejumlah LSM asing yang mengusung kepentingan minyak nabati dari Eropa yang semakin sulit bersaing dengan minyak sawit," ujarnya.
 
Sepawi mengatakan, serangan dan kampanye negatif terhadap kelapa sawit, terutama perkebunan kelapa sawit di lahan gambut, tak ubah seperti cara-cara negara kolonial Belanda ketika ingin menguasai perdagangan di daerah jajahannya di Maluku. Serangan terhadap kelapa sawit dengan menggunakan LSM tak ubahnya sikap penjajah di zaman kolonial dahulu. 
 
"Dalam konteks ini, seharusnya para produsen minyak nabati bersatu untuk memenuhi kebutuhan dunia, bukan malah menyerang kelapa sawit," tutup Sepawi.
 
15th IPC merupakan kongres gambut yang digelar untuk kali pertama di Asia. Sejak organisasi International Peatland Society (IPS) didirikan pada 1968, kongres biasa digelar di Eropa dan Amerika Utara.
 
Kongres ini juga didukung dua serikat sains, yakni the International Union of Forest Research Organisation (UFRO) dan International Union of Soil Sciences (IUSS). Dalam kongres tahun ini, dihadirkan 200 karya dan poster ilmiah.     
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(WIL)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan