Sejumlah pihak, termasuk agensi intelijen Amerika Serikat, mencurigai Rusia mencoba meretas Macron seperti dalam masa kampanye pemilihan umum presiden di Negeri Paman Sam.
"Mereka hanya menyatakan itu. Mereka tidak pernah memberikan bukti-bukti kepada publik bahwa Rusia meretas pemilu Prancis. Sama seperti saat kami dituduh meretas pemilu Amerika Serikat," kata Dubes Galuzin kepada awak media di kediamannya, kawasan Kuningan, Jakarta, Jumat 28 April 2017.
"Jika memang warga negara kami meretas pemilu negara lain, berikan kami bukti. Tentu akan kami proses sesuai hukum," lanjut dia.
Dubes Galuzin sangat menyayangkan tuduhan yang kembali dilayangkan ke Rusia soal peretasan terhadap pemilu negara lain tersebut.
Sebuah portal keamanan siber yang berbasis di Jepang mengeluarkan laporan dua hari setelah pemilu presiden Prancis putaran pertama selesai yang mengatakan bahwa sejumlah peretas Rusia mencoba untuk meretas kampanye Macron pada Maret dan April.
Di samping itu, Dubes Galuzin juga membeberkan sikap Macron yang tidak sesuai dengan kampanyenya, di mana ia menomorsatukan demokrasi di Prancis jika ia terpilih menjadi presiden menggantikan Francois Hollande.
"Ada sejumlah wartawan Rusia yang ditolak masuk untuk meliput kampanyenya. Model demokrasi seperti apa yang dia tawarkan sebenarnya?" tanya Dubes Galuzin.
Ia mengungkapkan bahwa tak ada yang mengkritik Macron soal ini. Menurut dia, penolakan terhadap masuknya wartawan Rusia untuk meliput sangat bertolak belakang dengan janji demokrasi yang ia tawarkan.
Macron akan melaju ke pilpres putaran kedua dengan melawan Marine Le Pen, capres sayap kanan Prancis. Putaran kedua akan digelar 7 Mei mendatang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News