Ip Kwok-him, seorang politikus Hong Kong pro Tiongkok, menilai pembatasan internet mungkin diperlukan. Ia mengaku khawatir terhadap kondisi Hong Kong saat ini, yang separuh lumpuh sejak akhir pekan kemarin.
"Pemerintah tidak akan mengesampingkan kemungkinan membatasi akses internet," ujar Ip kepada kantor berita AFP, Senin 7 Oktober 2019.
Menurut Ip, internet merupakan salah satu hal penting bagi demonstran untuk melancarkan aksi protes mereka. Lewat internet, para pengunjuk rasa dapat dengan mudah mengkoordinasikan gerakan mereka.
Baru sekadar wacana, Ip mengakui pembatasan internet bisa saja memicu efek buruk di tengah masyarakat Hong Kong. "Saya rasa implementasi pembatasan internet harus dipastikan tidak berimbas pada aktivitas bisnis di Hong Kong," tutur Ip.
Pemimpin Hong Kong Carrie Lam telah menerapkan aturan penggunaan masker usai menggelar rapat kabinet pada Jumat 4 Oktober. Larangan tersebut langsung disambut dengan gerakan masif demonstran di sejumlah titik.
Larangan penggunaan masker merupakan bagian dari Emergency Regulation Ordinances -- hukum era kolonial yang memungkinkan diterapkannya aturan apapun saat Hong Kong berada dalam status darurat.
Dua orang telah disidang atas tudingan melanggar larangan tersebut. Mereka adalah seorang mahasiswa dan wanita berusia 38 tahun.
Saat keduanya disidang, ratusan orang di luar gedung pengadilan meneriakkan sejumlah slogan seperti "mengenakan masker bukan sebuah kejahatan" dan "hukum tidak adil."
Gelombang protes di Hong Kong berawal dari penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Ekstradisi. Aksi protes tetap berlanjut meski RUU Ekstradisi dicabut, dan kini meluas menjadi gerakan pro-demokrasi dan penentangan terhadap Hong Kong serta Tiongkok.
Hong Kong adalah bekas koloni Inggris, yang sudah dikembalikan ke Tiongkok pada 1997 di bawah sistem "Satu Negara, Dua Sistem." Sistem tersebut menjamin otonomi Hong Kong.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News