Video-video tersebut kebanyakan menunjukkan gambar anggota keluarganya yang hilang disertai musik sedih atau menakutkan. Banyak dari mereka yang mengunggah video dengan adegan menangis.
Sejumlah pengamat menyebut fenomena tersebut menunjukkan bagaimana kondisi sebenarnya di Xinjiang, Tiongkok, tempat ribuan Uighur dikabarkan ditahan dan didoktrin pemerintah Tiongkok.
"Keadaan ini menunjukkan Uighur sudah mulai 'go public' dengan situasi mereka di Xinjiang. Jelas mereka merasa putus asa dan mengekspresikan perlawanan lewat media sosial," kata seorang dosen sejarah Tiongkok dari Universitas Sydney David Brophy, dikutip dari Guardian, Selasa 20 Agustus 2019.
Baca: Tiongkok Klaim Uighur Telah Lulus Pendidikan
Tiongkok terus bersikeras bahwa 'penahanan' di Xinjiang bukan pemenjaraan serta propaganda Partai Komunis terhadap Uighur, melainkan pelatihan kejuruan dan keterampilan bekerja.
Namun, hingga kini, jurnalis asing maupun lokal masih dilarang masuk ke Xinjiang jika tidak ada izin khusus. Tiongkok sendiri pernah membawa sejumlah duta besar negara sahabat yang berkedudukan di Beijing, termasuk Indonesia, untuk masuk ke Xinjiang.
Sejumlah kelompok HAM juga menuduh Tiongkok menahan jutaan Uighur karena berhaluan ekstrem, yang salah satu indikasinya adalah pernah mengunjungi satu dari 26 negara yang dianggap sensitif oleh Tiongkok. Puluhan negara itu adalah negara yang berpenduduk mayoritas Muslim.
Human Rights Watch, misalnya, yang menuding Tiongkok melarang Uighur menggunakan sapaan khas umat Islam dan harus belajar bahasa Mandarin, serta menyanyikan lagu-lagu propaganda.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
