"Hoaks, berita bohong itu menciptakan risiko atau masalah untuk demokrasi, namun Indonesia sudah melakukan kemajuan," kata Moazzam di Jakarta, Selasa 18 September 2018.
Menurut dia, biasanya berita-berita bohong tersebut disebar lewat media sosial. Karenanya, perlu pendekatan khusus untuk para pengguna media sosial.
Media sosial, kata Moazzam, sah-sah saja dijadikan alat dalam perdebatan politik, terlebih di negara demokrasi. Namun, harus diseimbangkan antara risiko dan manfaatnya.
"Kita harus menjaga perdamaian di masyarakat lewat undang-undang untuk menjaga media sosial dari hate speech, hoax news dan lain-lain," imbuh Moazzam.
Salah satu politikus muda Gerindra, yang juga merupakan calon legislatif daerah pilihan Riau-1, Miftah Sabri mengatakan lewat media sosial dia menjaring banyak relawan.
"Saya menulis di Facebook, apa saja, malah mendapatkan banyak relawan. Media sosial itu saat ini menjadi inovasi politik," tukas Miftah dalam acara diskusi bertajuk Demokrasi di Era Media Sosial di Jakarta semalam.
Media sosial juga merupakan tempat untuk mengedukasi anak muda agar paham pada politik, seperti yang disampaikan perwakilan dari Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) Golkar, Dito Ariotedjo. Dia menuturkan pihaknya sudah mulai melakukan hal tersebut.
Dubes Moazzam berpesan agar perdebatan di sosial media dilakukan secara sehat. Ia mengaku, hingga saat ini Inggris tidak memiliki Undang-Undang ITE sekompleks UU ITE milik Indonesia. Namun, pemerintah Inggris sudah memiliki regulasi sendiri untuk menanggulangi hate speech dan hoaks dalam politik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News