"Afghanistan bukan bagian dari radikalisme, tapi radikalisme selalu dikaitkan dengan Afghanistan, ini perbedaan yang sangat penting. Masyarakat kami memiliki toleransi seperti masyarakat Indonesia," ujar Ashraf, dalam wawancara eksklusif bersama Metro News, Jumat 7 April 2017.
Menurut Ashraf, radikalisme adalah hasil dari invasi Uni Soviet di Afghanistan. Penduduk Afghanistan justru menjadi korban dari kejahatan terorisme dan yang harus dipahami, Afghanistan, kata Ashraf, merupakan target radikalisme.
"Ada sekitar 20 kelompok yang dikategorikan teroris yang asalnya dari negara lain yang kerap menyerang kami. Kami berada di garis depan untuk pertahanan melawan kelompok ini dan juga untuk negara-negara muslim dalam konteks internasional," ungkap Ashraf.
Ashraf mengatakan pasca-pasukan asing ditarik mundur dari Afghanistan pada akhir 2014, banyak pihak yang menilai bahwa dalam semalam saja Afghanistan bisa runtuh. Namun, pemerintah Afghanistan membuktikan bahwa pasukan dalam negeri mampu mempertahankan negaranya dari ancaman-ancaman luar.
Pengorbanan ini, kata Ashraf, membuktikan bahwa Afghanistan mampu mempertahankan negara tanpa intervensi pasukan asing. Tak hanya itu, kemandirian yang terus dibangun diharapkan Ashraf mampu meyakinkan negara-negara lain untuk mau bekerja sama dalam berbagai bidang.
Khusus dengan Indonesia, Ashraf mengatakan, kerja sama paling utama yang akan dibangun adalah bagaimana menghindarkan negara dari ancaman-ancaman terorisme dan kelompok radikal. Posisi tawar Indonesia yang strategis membuat Afghanistan yakin bahwa kerja sama di bidang ini akan menghasilkan yang terbaik.
"Jadi sebagai negara yang berbagi nilai demokrasi dengan kami dan komitmen kepada perdamaian, kami ingin belajar seperti Indonesia melalui badan perdamaian di pemerintahan kami," jelas Ashraf.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id