Warga Uighur di Xinjiang, Tiongkok menjadi kalangan minoritas yang tertindas. Foto: AFP.
Warga Uighur di Xinjiang, Tiongkok menjadi kalangan minoritas yang tertindas. Foto: AFP.

Kedubes Tiongkok Kecam Berita Memojokkan Terkait Uighur

Fajar Nugraha • 19 Desember 2019 13:44
Jakarta: Kedutaan Besar Tiongkok di Jakarta bersuara terkait artikel di media Amerika Serikat (AS), The Wall Street Journal (WSJ), yang menyebutkan organisasi masyarakat Indonesia bungkam usai diajak mengunjungi Xinjiang. Wilayah itu merupakan populasi utama dari etnis Uighur.
 
Juru Bicara Kedutaan Besar Tiongkok di Jakarta Qiu Xinli menanggapi artikel WSJ berjudul ‘How China Persuaded One Muslim Nation to Keep Silent on Xinjiang Camps’ itu. Artikel tersebut dipublikasi pada 11 Desember 2019 dan langsung memicu kontroversi.
 
Artikel tersebut memaparkan bahwa Pemerintah Tiongkok berupaya mengubah opini atau pandangan muslim di Indonesia maupun negara lainnya dengan memberikan sumbangan atau dukungan finansial.

Namun menurut Qiu Xinli, Tiongkok merupakan negara multietnik dan multiagama. Undang-undang Dasar maupun hukum Tiongkok memberikan perlindungan seutuhnya untuk menjamin kesetaraan antar-etnik, kebebasan beragama dan kepercayaan, serta hak asasi manusia (HAM).
 
“Xinjiang merupakan salah satu daerah otonomi etnik minoritas di Tiongkok. Pemerintah menjamin hak dasar untuk hidup dan berkembang bagi 25 juta warga Xinjiang dari berbagai etnik. Patut disayangkan, Xinjiang telah mengalami banyak penderitaan akibat aksi kekerasan, radikalisme, bahkan terorisme,” sebut Xinli, dalam keterangan resmi Kedubes Tiongkok di Jakarta yang dirilis pada Rabu, 18 Desember 2019, yang dikutip Medcom.id, Kamis, 19 Desember 2019.
 
Qinli menyoroti bahwa sejak 1990 hingga 2016, telah terjadi ribuan kasus kekerasan dan terorisme di Xinjiang. Kasus-kasus ini melibatkan serangan bahkan pembunuhan terhadap banyak warga tidak berdosa, termasuk warga Muslim Uighur dan pemuka agama. Pemerintah Daerah Otonom Xinjiang telah mengambil serangkaian tindakan hukum untuk memberantas aksi kekerasan dan aktivitas terorisme, termasuk aktif menindaklanjuti program deradikalisasi.
 
“Hasilnya cukup signifikan,” menurut Xinli.
 
“Dalam tiga tahun terakhir, tidak satu pun kasus serangan terorisme yang terjadi di Xinjiang. Isu yang berhubungan dengan Xinjiang pada dasarnya bukan isu HAM, etnik, ataupun agama, melainkan masalah pemberantasan separatisme dan terorisme,” imbuhnya.
 
Menurut Xinli sejumlah media Barat berupaya mencemarkan program antiteror dan deradikalisasi yang dilakukan di Xinjiang, Tiongkok. “Mereka bahkan juga berupaya mengadu-domba hubungan persahabatan antara Tiongkok dan dunia Muslim,” tegasnya.
 
Lebih lanjut dirinya menjelaskan bahwa sejak akhir 2018, Tiongkok telah mengundang lebih dari seribu pejabat pemerintahan maupun organisasi internasional, awak media, ormas agama, dan akademisi dari 70 lebih negara, termasuk Indonesia, untuk mengunjungi Xinjiang. Mereka yang diundang menurut Xinli, banyak yang memuji bahwa pengalaman antiteror dan deradikalisasi di Xinjiang patut dipelajari dan diteladani.
 
Beberapa kunjungan yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat internasional ke Xinjiang. Pada akhirnya dukungan pun mengalir kepada Tiongkok terkait kamp pelatihan ini. Di antaranya dilakukan oleh lebih dari 50 perwakilan negara pada Kantor PBB di Jenewa menandatangani surat bersama yang ditujukan kepada Presiden Dewan HAM dan Komisaris Tinggi HAM PBB, pada Juli 2019. Kemudian Dewan Menteri Luar Negeri Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) pada Maret 2019 yang  mengeluarkan sebuah resolusi yang memuji upaya Pemerintah Tiongkok dalam mengayomi warga Muslim.
 
“Dalam pertemuan Komite III Sidang Majelis Umum PBB ke-74 Oktober lalu, lebih dari 60 negara memberikan pernyataan yang mengapresiasi kemajuan HAM yang luar biasa besar di Xinjiang, Tiongkok,” kata Xinli.
 
“Laporan dari WSJ telah memfitnah upaya pemerintah Tiongkok dalam mempertahankan kedaulatan negara, menegakkan HAM, serta menjalankan program anti-teror dan deradikalisasi. Laporan itu sengaja menyampaikan penafsiran keliru terhadap kontak dan aktivitas normal antara Kedutaan Besar Tiongkok di Indonesia dengan NU, Muhammadiyah, MUI, serta berbagai kalangan lainnya di Indonesia. Kami menyatakan kecaman keras dan penolakan tegas terhadap laporan tersebut,” sebutnya.
 
Xinli menambahkan Tiongkok dan Indonesia adalah dua negara bertetangga yang senantiasa bersahabat dan saling mendukung. Hubungan kontak yang baik antara rakyat kedua negara sejalan dengan kepentingan fundamental kedua negara dan rakyatnya.
 
“Kami akan terus bekerja sama dengan berbagai kalangan di Indonesia untuk meningkatkan pertukaran dan memajukan kerja sama agar dapat memberikan manfaat yang lebih besar kepada bangsa dan rakyat kedua negara. Agenda apa pun yang bertujuan untuk merusak persahabatan sejati antara rakyat Tiongkok dan Indonesia dipastikan tidak akan pernah berhasil,” pungkas Xinli.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FJR)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan