Usulan damai dari ARSA diungkapkan jelang berakhirnya gencatan senjata mereka dengan militer Myanmar.
"Kita melihat gelagat pemerintah Myanmar. Jika mereka ada kecenderungan berdamai, ARSA akan menyambut baik hal tersebut," ujar kelompok tersebut dalam pernyataan mereka, seperti dikutip dari Channel News Asia, Sabtu 7 Oktober 2017.
Ketika ARSA mengumumkan gencatan senjata selama satu bulan sejak 10 September lalu, seorang juru bicara pemerintah menegaskan Myanmar tidak bersedia bernegosiasi.
"Kami tidak memiliki kebijakan untuk bernegosiasi dengan teroris," katanya.
Bahkan, selama masa gencatan senjata, pemerintah Myanmar menuduh ARSA melakukan pembakaran rumah-rumah penduduk. Akibat kekerasan yang terjadi di Rakhine sejak dua bulan terakhir, lebih dari 400 ribu penduduk Rakhine -- sebagian besar etnis Rohingya -- melarikan diri ke Bangladesh untuk mencari perlindungan.
Pengungsi yang datang ke Bangladesh dianggap Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai korban 'pembersihan etnis' yang dilakukan militer Myanmar. Namun hal tersebut dibantah oleh militer.
Saling tuduh antara militer Myanmar dengan ARSA membuat Rakhine semakin rawan ditinggali. Meski demikian, di balik gencatan senjata tersebut, akses bantuan kemanusiaan untuk pengungsi telah dibuka pemerintah Myanmar.
Bantuan dari Indonesia menjadi yang pertama masuk ke Rakhine dan Bangladesh.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News