Ko Ni ditembak di bagian kepala dari jarak dekat, Minggu 29 Januari, setelah tiba di bandara. Saat itu, dia menggendong seorang bocah yang disebut-sebut sebagai cucunya. Seorang sopir taksi juga turut ditembak mati dalam kejadian.
Seorang tersangka telah ditahan, tetapi tidak ada rincian mengenai motif. Ko Ni adalah salah satu dari beberapa tokoh Muslim di negara yang didominasi oleh umat Budha.
Tidak jelas apa agama adalah merupakan faktor dalam kematian Ko Ni. Pembunuhan politik sangat jarang terjadi di Myanmar.
Putrinya, Yin Nwe Khine, mengatakan kepada Reuters bahwa ayahnya "sering diancam" lantaran telah bersuara lantang menentang pengaruh militer dalam dunia politik Myanmar.
"Kami diingatkan untuk berhati-hati, tapi ayah saya tidak mudah menerimanya. Dia selalu melakukan apa yang dia pikir benar," katanya seperti dikutip BBC, Senin (30/1/2017).
"Banyak orang membenci kami karena kami menganut keyakinan agama berbeda, jadi saya pikir itulah mungkin mengapa hal itu terjadi padanya, tapi saya tidak tahu alasannya," bubuh Nwe Khine.

Pengacara Muslim ternama di Myanmar, Ko Ni. (Foto: Reuters)
Muslim yang Vokal di Negeri Buddha
Jonah Fisher, reporter BBC News di Yangon, mengungkap sebuah foto yang diambil pihak pangkalan taksi dari bandara Yangon terkait momen pembunuhan.
Seorang pria memakai kemeja merah muda, celana pendek dan bersandal jepit, mengacungkan pistol ke bagian belakang kepala Ko Ni.
Sesaat kemudian, pengacara Muslim yang paling menonjol Myanmar itu tewas dan tak lama seorang sopir taksi yang mengejar penyerang juga ditembak.
Foto-foto yang diunggah ke media sosial menunjukkan polisi yang menangkap penyerang, kepala dan kakinya berlumuran darah. Dia diketahui sebagai Kyi Lin, 53 tahun, asal Mandalay.
Seorang aktivis mahasiswa mengingat kembali pemberontakan 1988. Ko Ni adalah tahanan politik dan kemudian, setelah bebas, menjadi pengacara senior dan penasihat partai politik Aung San Suu Kyi. Dia ahli hukum tata negara, bekerja menyusun rencana NLD untuk mengubah peran militer dalam piagam Myanmar.
.jpg)
Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi. (Foto: AFP)
Tahun lalu, dia membantu mendirikan Asosiasi Pengacara Muslim Myanmar (MMLA) dan berbicara tentang perlunya membela hak-hak warga Muslim. Suaranya mungkin telah membuat dia memiliki banyak musuh.
Kyee Myint, mantan ketua Jaringan Pengacara Myanmar (MLN), berkata, Ko Ni adalah "seorang sahabat tercinta."
"Dia adalah wajah demokrasi di negara kita, dan ini adalah kehilangan besar bagi kami," katanya seperti dikutip Associated Press.
Sentimen anti-Muslim begitu terasa di Myanmar, dan dukungan publik amat signifikan untuk operasi militer yang sedang berlangsung di negara bagian Rakhine, kampung bagi ribuan Muslim Rohingya.
Militer mengatakan operasi itu demi memulihkan keamanan setelah serangan mematikan di pos polisi pada Oktober tahun lalu. Tetapi mereka telah dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia secara luas, termasuk penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, dan pembakaran desa.
Sebagian besar Rohingya tidak memiliki status kewarganegaraan Myanmar.
Kelompok hak asasi Amnesty International mengatakan, kematian Ko Ni akan "mengejutkan seluruh komunitas hak asasi manusia di negara itu dan di luar negeri".
"Pihak berwenang harus mengirim pesan yang jelas bahwa kekerasan tersebut tidak akan ditoleransi dan tidak akan luput dari hukuman," kata Josef Benedict, wakil direktur kampanye regional Amnesty.
Juru bicara Presiden Myanmar Htin Kyaw berkata, polisi menanyainya "untuk mencari tahu mengapa dia membunuh, dan siapa yang berada di balik aksi itu."
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News