Ratusan ribu pengungsi dari Rakhine -- sebagian besar dari mereka Rohingya -- melarikan diri dari Rakhine sejak kekerasan terbaru meletus pada 25 Agustus. Mereka lari ke Bangladesh karena khawatir terkena imbas pertempuran antara militer Myanmar melawan grup Arakan Rohingya Salvation Army atau ARSA.
Myanmar dan Bangladesh sepakat secara prinsip untuk merepatriasi sejumlah Rohingya, namun menolak beberapa poinnya. Kepala militer Myanmar pekan lalu mengatakan "tidak mungkin" negaranya bisa menerima kembali jumlah pengungsi yang disodorkan Bangladesh.
Laporan terbaru Amnesty pada Selasa 21 November 2017 menunjukkan secara detail bagaimana persekusi terhadap Rohingya sejak dua tahun terakhir berujung pada krisis saat ini.
"Kampanye yang didukung pemerintah telah menghambat semua aspek kehidupan Rohingya," tulis laporan Amnesty, seperti dikutip AFP.
Dalam laporan setebal 100 halaman itu, yang disusun selama lebih kurang dua tahun, disebutkan bahwa perlakuan Myanmar terhadap Rohingya telah memenuhi standar untuk dapat disebut sebagai "kejahatan terhadap kemanusiaan apartheid."
UU Kewarganegaraan
"Rakhine State adalah lokasi kejahatannya. Ini sudah terjadi lama sejak kampanye brutal militer tiga bulan lalu itu," ujar Anna Neistat, Direktur Senior Riset Amnesty.
"Otoritas Myanmar memisahkan pria, wanita dan anak-anak Rohingya dari masyarakat pada umumnya dalam sebuah sistem apartheid," tambah dia.
Sentimen kebencian terhadap Rohingya sudah terjadi sejak diberlakukannya Undang-Undang Kewarganegaraan pada 1982 di Myanmar. Aturan yang diberlakukan junta militer ketika itu membuat ribuan Rohingya tidak memiliki kewarganegaraan.
Sejak saat itu, Amnesty menuding "kampanye yang disengaja" dari pemerintah telah dilakukan untuk menghapus hak hidup Rohingya di Myanmar, di mana mereka dipanggil sebagai imigran gelal asal Bangladesh atau Bengali.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News