Lebih dari 600 ribu pengungsi telah melarikan diri gelombang kekerasan di Rakhine, Myanmar, ke Bangladesh sejak akhir Agusutus. Krisis terbaru di Rakhine dipicu serangan kelompok militan Arakan Rohingya SalVation Army (ARSA) ke sejumlah pos polisi Myanmar.
Eksodus terbaru semakin memadati kamp-kamp yang sudah terisi pengungsi Rohingya sejak beberapa bulan lalu. Bangladesh khawatir jumlahnya akan meledak jika tidak dilakukan pengendalian populasi.
Pintu Kanti Bhattacharjee, pemimpin badan perencanaan keluarga di Cox's Bazar, mengatakan bahwa tingkat kesadaran mengenai KB di kalangan Rohingya relatif rendah.
"Keseluruhan komunitas ini seperti sengaja ditelantarkan begitu saja," tutur dia kepada AFP, Sabtu 28 Oktober 2017.
Bhattacharjee mengatakan banyak keluarga Rohingya yang memiliki belasan anggota. Beberapa dari mereka bahkan memiliki hingga 19 anak. Banyak pula pria Rohingya yang memiliki lebih dari satu istri.
Ia menambahkan pihaknya telah meluncurkan program kontrasepsi ke kamp-kamp pengungsian. Bhattacharjee mengaku sudah mendistribusikan 549 paket kondom di kalangan pengungsi, namun banyak dari mereka yang enggan menggunakannya.
Untuk mengendalikan hal ini, Bhattacharjee meminta pemerintah pusat menyetujui rencana program vasektomi untuk pria Rohingya dan tubektomi untuk wanita.
Sementara itu, Myanmar menyetujui menerima kembali pengungsi Rohingya, namun dengan sejumlah syarat. Persetujuan menerima kembali Rohingya ini juga bagian dari kesepakatan Myanmar dan Bangladesh.
sejumlah persyaratan itu di antaranya perlu dilakukan penelusuran latar belakang para pengungsi dan memastikan mereka berasal dari Rakhine.
"Kami belum bisa mengatakan kapan akan menerima mereka (para pengungsi) kembali," ujar Menteri Perumahan Myanmar Tin Myint.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News