Ekor AirAsia QZ8501 yang ditemukan (Foto: AFP)
Ekor AirAsia QZ8501 yang ditemukan (Foto: AFP)

Mungkinkah Perubahan Iklim Jadi Penyebab Jatuhnya AirAsia?

Fajar Nugraha • 14 Januari 2015 19:29
medcom.id, Melbourne: Seorang profesor dari Melbourne University mempertanyakan apakah perubahan iklim turut memiliki andil, dalam insiden jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501.
 
Todd Lane mengeksplorasi segala kemungkinan yang menjadi pemicu kecelakaan ini. Sebelumnya disebutkan oleh CEO AirAsia Tony Fernandes bahwa QZ8501 jatuh ke laut karena kondisi cuaca yang unik.
 
Dalam ucapan Fernandes, Lane mengaku terusik dengan anggapan bahwa perubahan iklim juga berperan dalam insiden itu. Selain itu Fernandes juga menghubungkannya dengan bencana banjir yang terjadi di Malaysia dan Thailand.

Jadi apa yang bisa ilmu pengetahuan jelaskan mengenai penerbangan dan korelasinya dengan perubahan iklim?
 
Ilmu pengetahuan tentang badai
 
Pesawat dengan nomor penerbangan QZ8501 bergerak ke arah yang dilaporkan dipenuhi dengan aktivitas badai tropis parah.
 
Badai petir sangat berbahaya untuk pesawat dan bisa menimbulkan turbulensi naik turun. Turbulensi ini mempengaruhi badan dari pesawat. Sementara hantaman angin dari depan bisa mencapai kecepatan 100 kilometer per jam.
 
Sementara beberapa bagian dari badai petir juga bisa berbahaya. Turbulensi bisa menghantam di atas badai petir, karena gelombang atmosfer yang pecah. Ini seperti halnya gelombang air yang pecah di lautan.
 
Bahaya lain dari badai ini adalah es, yang beberapa kali menjadi penyebab kecelakaan pesawat. Es bisa terbentuk di banda pesawat dan mesin. Hal ini tentunya bisa mempengaruhi operasi pesawat.
 
Menghindari badai
 
Pada udara tropis, badai petir bisa sangat dalam dan tidak memungkinkan pesawat untuk terbang. Akibatnya, pesawat harus memutar menghindari badai.
 
"Dalam situasi yang dialami oleh AirAsia QZ8501, terdapat wilayah badai petir yang sangat luas. Ini sangat sulit untuk pesawat melakukan navigasi memutar atau menghantam badai tanpa mengalami turbulensi," ujar Todd Lane, seperti dikutip Eco Bussiness, Rabu (14/1/2015).
 
Pilot pada akhirnya menggunakan tanda visual dan radar di dalam pesawat serta bantuan dari ATC untuk menghindari badai. Bahkan tidak jarang pilot memutuskan untuk memasuki badai, tetapi menghindari wilayah sel yang paling berbahaya.
 
Sangat sedikit penyelidikan turbulensi yang dialami pesawat dalam wilayah tropis. Akibatnya, tidak banyak diperbuat untuk menghadapi perubahan dalam badai tropis yang sangat penting untuk penerbangan.
 
Ada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa kondisi ekstrem dalam cuaca tropis, yang meningkat di wilayah yang cenderung hangat. Tetapi hanya ada sedikit kaitan antara intensitas curah hujan dan ketinggian berbahaya di mana pesawat mengudara. Perubahan iklim yang dianggap bisa mempengaruhi penerbangan masih belum ditentukan.
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FJR)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan